Oleh: Dedi Arman
(Peneliti Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN)/ Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kepri)
Kerajaan Negeri Melaka membuat gebrakan agar Melaka lebih mendunia dengan menjual nama besar yang sangat populer di dunia Melayu, yaitu Hang Tuah. Melaka membuat Pameran Hang Tuah secara besar-besaran tanggal 10 Juni-7 Juli 2024. Dalam pameran ditampilkan berbagai manuskrip maupun artefak untuk menunjukkan keberadaan Hang Tuah. Â Kerajaan Negeri Melaka juga aktif membuat kajian tentang Hang Tuah dengan melibatkan sejarawan dan budayawan Malaysia. Mereka melakukan kajian ke sejumlah negara yang diyakini memiliki catatan tentang Hang Tuah, seperti Turki, Jepang, termasuk mengunjungi Bintan, Provinsi Kepri yang diyakini orang Malaysia sebagai asal muasal Hang Tuah.
Akademisi Malaysia sejak tahun 1955 mulai melakukan penelitian tentang Hang Tuah seiring dengan berdirinya Universitas Malaya. Penelitian dilakukan Taib Osman,  Braginsky, A.Teeuw, dan Parnickel. Tahun 1970-an, penelitian tentang Hang Tuah makin aktif dilakukan oleh sejumlah akademisi terkemuka Malaysia. Secara umum ada dua pandangan akademisi Malaysia tentang Hang Tuah. Pertama, meyakini bahwa Hang Tuah itu adalah tokoh nyata dalam Kerajaan Malaka. Akademisi yang meyakini keberadaan Hang Tuah itu nyata, diantaranya Prof Nik Hassan Shuhaimi Nik Abdul Rahman, Prof Haji Muhammad Salleh dan akademisi lainnya. Kedua, menilai Hang Tuah hanya mitos dan perlu kajian mendalam lagi untuk membuktikan keberadaannya. Pandangan ini dipelopori oleh Prof Ahmad Adam. Adam menilai kajian Hang Tuah berdasarkan metodologi sejarah tidak boleh memihak.  Ia memandang perlu meluruskan sejarah tanah air Malaysia dari unsur mitos. (Samsudin, 2023).
Jangan Membohongi Sejarah
Upaya Kerajaan Negeri Melaka dalam beberapa tahun terakhir dalam menggali sejarah Hang Tuah mengundang perdebatan dan kritikan. Akademisi Malaysia yang melakukan penelitian ke Kepulauan Riau, dalam pengumpulan data terkesan asal-asalan. Dalam penelitian sejarah dikenal metode penelitian sejarah, ada tahapan heuristik atau pengumpulan sumber sejarah yang dilakukan bisa melalui wawancara, observasi, studi pustaka dan dokumentasi. Data yang diperoleh dikritik, kemudian diinterpretasi, sebelum ditulis. (Kuntowijoyo, 2014). Ada yang menarik saat pihak Kerajaan Negeri Melaka yang datang ke Bintan, Provinsi Kepri bertemu dengan orang yang mengaku zuriat atau pewaris Hang Tuah generasi ke-11. Pihak Melaka menerima sepasang keris hukum dan keris sundang dari orang yang mengaku Zuriat Hang Tuah. Senjata itu diklaim berusia 600 tahun lebih. Benda-benda ini kemudian ditampilkan dalam Pameran Hang Tuah di Melaka tahun 2024 ini.
Akademisi Malaysia tidak melakukan kritik sumber dengan baik. Hal yang aneh Ketika mereka percaya begitu saja ada orang yang mengklaim Zuriat Hang Tuah ke-11. Selain itu, juga mudah percaya bahwa keris sundang dan dua keris yang diberikan Zuriat Hang Tuah sebagai keris Hang Tuah dengan usia ratusan tahun. Sebelum dipamerkan dalam pameran yang levelnya tingkat nasional mestinya diuji kevalidan fakta sejarang tentang keberadaan keris itu. Apalagi sudah ada informasi dari pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepri di media massa, bahwa keris itu milik salah seorang tokoh masyarakat Kepri dan tergolong keris baru. Pihak Melaka boleh saja mencari sejarah tentang Hang Tuah namun diminta tidak melakukan pembohongan sejarah.
Secara kesusastraan membicarakan Hang Tuah memang menarik dan nyaris tidak ada perdebatan tentang Hikayat Hang Tuah yang dikenal dalam alam Melayu. Namun, dari sisi kesejarahan perlu kajian yang mendalam lagi. Faktanya, sejumlah sarjana asing yang aktif melakukan penelitian di Pulau Bintan, Kepri belum ada yang menegaskan eksistensi Hang Tuah sebagai Laksamana Kerajaan Melaka sebagaimana dalam Hikayat Hang Tuah yang termasyur itu. Keberadaan Hang Tuah yang disebutkan makam dan asal muasalnya dari Bintan hanya berdasarkan cerita rakyat saja. Itu pun cerita rakyat yang berkembang pada sekelompok orang saja yang kini mengklaim sebagai Zuriat Hang Tuah ke-11.
Dalam sejumlah sumber seperti Tuhfat al Nafis karya Raja Ali Haji, catatan Elisa Netscher ‘Belanda di Siak dan Johor yang ditulis abad ke-19 dan laporan penelitian Pusat Penelitian Arekologi Nasional tahun 1980 yang melakukan riset di Pulau Bintan, tidak ada catatang wujud makam Hang Tuah di Pulau Bintan. Informasi tentang keberadaan makam Hang Tuah di Bintan belakangan muncul ke publik melalui informasi pihak yang mengaku Zuriat Hang Tuah. Sementara, keberadaan Makam Hang Tuah selama ini dikenal secara umum berada di Tanjung Kling, Melaka.
Hang Tuah perlu dibuktikan dengan kaedah sejarah. Ketokohan Hang Tuah banyak dibincangkan dalam karya sastera, namun sosok Hang Tuah perlu dibuktikan menggunakan metodologi sejarah. Jangan mudah mencampurkan aspek legenda, mitos, sejarah menjadi fakta sejarah. Tidak dapat dinafikan cerita tentang Hang Tuah yang tersebar ke pelosok Kepulauan Melayu memang sangat populer. Akan tetapi, kisah petualangannya itu adalah semata-mata bersifat sebuah cerita rakyat atau folklore Melayu yang tersebar melalui Hikayat Hang Tuah.
Hang Tuah adalah tokoh mitologi Melayu yang dikategorikan sebagai sastra rakyat atau Melayu Klasik dalam bentuk hikayat. (Fang, 1991). Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos tidak selalu sama dengan konsep mitos pada umumnya. Mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos juga tidak selalu bersifat sakral atau suci. Mitos yang suci pada suatu tempat, di tempat lain dianggap biasa. Mitos yang oleh sekelompok orang diyakini kenyataannya, di tempat lain hanya dianggap khayalan. Menurut Levi-Strauss, mitos tidak lebih sebagai dongeng atau khayalan belaka.
Latar belakang dihadirkannya mitos Hang Tuah ini bagi masyarakat Melayu adalah untuk memberi dorongan semangat dan perjuangan penuh pengorbanan, baik jiwa maupun raga, menegakkan hak dan kebenaran di muka bumi serta membasmi kejahatan angkara murka. Armada Peringgi atau Portugis yang datang menyerbu kerajaan Malaka merupakan lambang keangkaramurkaan, kejahatan, penjarah, dan kebatilan di bumi. Bentuk keangkaramurkaan seperti itu harus dimusnahkan, dibasmi, dan diperangi walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga hingga gugur sebagai kusuma bangsa. (Santosa, 2014).***