Beranda Berita Utama Bius Tujuh Destinasi Kekinian Bandung

Bius Tujuh Destinasi Kekinian Bandung

0
Sepasang muda-mudi menaja pemotretan pre-wedding di pagi yang dramatis di Ranca Upas. (Foto: Edi Sutrisno)
Sepasang muda-mudi menaja pemotretan pre-wedding di pagi yang dramatis di Ranca Upas. (Foto: Edi Sutrisno)

Pendar wisata Bandung seperti tak pernah redup: selalu punya amunisi ampuh untuk memikat wisatawan. Pun di ranah millennial tourism, Bandung layak disemati sebagai kiblat destinasi kekinian, satu yang terdepan di nusantara. Tujuh wadah tetirah ini membuktikan.

Tergiur artikel dan foto-foto ciamik yang bertebaran di laman media sosial, saya sambangi Bandung, untuk kesekian kalinya. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Keinginan untuk menikmati dari dekat kelihaian warganya memadu-padankan bentang alam elok dengan imajinasi kreatif menjadi destinasi wisata super, adalah alasan lain yang menuntun saya ke sana.

Saya sengaja menjejaki Bandung, dua bulan setelah puncak musim penghujan mereda, agar beroleh waktu terbaik menjelajahi sudut-sudutnya tanpa diinterupsi hujan. Dan itu terbukti, di hari pertama, saya disambut Bandung yang bertabur cahaya matahari. Tapi saya justru melewatkannya, dengan bergerak menuju Kampung Buntis Bokor, Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Destinasi pembuka: Bukit Moko, sebuah destinasi kekinian Bandung yang pamornya tengah menyeruak di papan atas. Belakangan bahkan sempat dilabeli orang sebagai “Bukit Instagram”.

Duduk di jok belakang sepeda motor pengojek online, saya bertolak ke Bukit Moko yang berjarak sekitar 15 kilometer dari jantung kota, melintasi jalanan kota yang hiruk-pikuk hingga Terminal Cicaheum. Lalu-lalang kendaran baru sedikit mereda ketika sampai di area jalan menuju Padasuka. Kami teruskan perjalanan menyusuri jalan menanjak yang meliuk-liuk di punggung bukit hingga sampai ke jalanan tak beraspal. Total, kami habiskan kira-kira satu setengah jam untuk sampai di area Bukit Moko.

Puncak Bintang, satu dari beberapa zona berfoto di Bukit Moko yang biasa dipilih orang sebagai titik terbaik untuk menikmati momen matahari kembali ke peraduan. (Foto: Edi Sutrisno)

Udara sejuk merambati tubuh ketika saya tiba di sana, meski jam masih menunjukkan pukul empat sore. Mengawali eksplorasi, saya menyisiri hutan pinus yang terbentang di kanan kiri bukit. Mengikuti sebuah trekking paths yang berlebar kurang dari dua meter, saya berjalan di bawah naungan deretan pohon pinus tinggi menjulang yang berderet rapi, laiknya barisan tentara yang tengah menggelar upacara. Di sejumlah titik, anak-anak muda terlihat asyik dalam keseruan, berswafoto di atas hammock, sebagian lagi, terlihat mengabadikan momen-momen terbaiknya di tengah kepungan pohon pinus.

Selepas trekking, saya berjalan pelan menuju Bukit Bintang. Di puncak tertinggi Bukit Moko ini, kerumunan orang sudah memenuhi areanya, berebut tempat terbaik menikmati sunset dan sudut terleluasa untuk membidikkan kamera. Inilah ritual wajib yang biasa dieksekusi pengunjung kalau menyambangi bukit ini. Sore itu, Bukit Moko dibaluti awan tipis yang melayang-layang rendah. Dari kejauhan, deretan bukit dan lembah yang membentang di hadapan, terhampar kejinggaan dipapar taburan cahaya senja.

Saya duduk bergeming hingga beberapa saat lalu berjalan menuju Dermaga Bintang, satu lagi viewpoint yang dimiliki Bukit Moko, ketika senja pudar dan gelap mulai merambati punggung, lereng hingga puncak bukit. Sajian memukau Bukit Moko ternyata belum belum berakhir. Beranjak malam bukit ini justru makin menawarkan view dramatis: pendar lampu-lampu kota yang menyala di atas Kota Bandung. Kota kembang itu, bak dikerubuti kunang-kunang.

Saya baru beranjak menuruni Bukit Moko usai azan isya berkumandang. Segera ke kota dan berehat, sebab besok pagi-pagi buta harus bergerak menuju destinasi kedua: Tebing Keraton.

Paginya, saya sudah bersiap di lobi hotel pukul lima dan bergegas menuju Desa Ciburial, tempat Taman Hutan Raya Djuanda (Tahura Djuanda), bersemayam. Melegenda sejak lama, taman hutan ini makin berkilau berkat kehadiran wadah relaksasi bernama Tebing Keraton. Tebing ini menjelma jadi destinasi populer di kalangan travellers, pasca foto-foto fotogeniknya menjamur di berbagai media sosial.

Dari kawasan kota, pengojek online membawa saya melintasi Stasiun Bandung menuju Jalan Djuanda dan lanjut ke arah Institut Teknologi Bandung (ITB). Sesudah melewati Flyover Pasopati dan sampai di Terminal Dago, kami mengambil jalan lurus lalu berbelok ke kanan menuju ke Bukit Dago Pakar. Tak jauh dari sana, Tahura Djuanda sudah di depan mata dan Tebing Keraton berada dalam jangkauan.

Pagi hening nan ciamik di Tebing Keraton dan sekumpulan anak muda yang tengah menikmati momen fajar menyingsing. (Foto: Edi Sutrisno)

Memasuki gapura Tebing Keraton, rasa penasaran saya membuncah: ingin cepat-cepat sampai di puncak tebing dan membuktikan langsung keindahan panorama alam yang tersaji di hadapannya. Dijalari hawa sejuk yang menusuk-nusuk kulit, saya berjalan menapaki tangga bersama sejumlah pengunjung. Tebing Keraton pagi itu cerah. Langit membiru anggun.

Sebentar lagi temaran jingga memanjati tebing, saya memilih tempat yang lebih sedikit dikerumuni orang, mencari titik ternyaman menikmati sunrise. Orang, seperti halnya saya, menyemuti tempat ini, satu di antaranya karena memang alasan ini: merasai momen dramatis fajar menyingsing.

Berada di ketinggian 1.200 meter DPL, Tebing Keraton pagi itu, benar-benar menyajikan view ciamiknya: hamparan pepohonan dan lembah hijau berselimutkan kabut putih keabuan. Momen ini tak disia-siakan pengunjung untuk berswafoto dan mengarahkan kamera ke bentangan memukau di hadapan. Sebagian terlihat mengantri rapi di depan beberapa bongkahan batu yang berukuran besar dan berada menjorok tepat di tepi tebing, untuk berfoto-ria. Spot yang dianggap paling ikonik di tebing ini.

Tebing Keraton, sejatinya bukan nama asli destinasi digital ini. Mulanya, orang menyebutnya dengan sebutan “Tebing Jontor,” merujuk pada posisinya yang menjorok ke arah lembah. Oleh sang penemu, Mang Ase, kemudian diganti menjadi Tebing Keraton sejak tahun 2014. Sejak itu pula, wadah vakansi ini berhasil mencuri perhatian dan jadi salah satu destinasi “a must visit” bagi para millennial travellers.

Memungkasi perjalanan, saya menyeruput kopi di kedai sederhana yang bercokol di dekat pintu gerbang sebelum akhirnya beringsut menjauhi Tebing Keraton, menuju “The Lodge Maribaya,” destinasi zaman “now” Bandung yang populer dengan deretan wahana kekiniannya. Menjangkaunya, saya harus bergerak ke arah Lembang, zona hijau Bandung yang dikenal memiliki seabrek tempat wisata berbasis alam.

“Hot air baloon” serta “love tree,” dua dari sederet wahana kekinian yang ditawarkan The Lodge Maribaya bagi pengujung untuk memenuhi ekspektasi para travellers zaman now. (Foto: Edi Sutrisno)

Berlokasi di Jalan Maribaya Timur KM 6 Kampung Kosambi Cibodas, Lembang, Bandung Barat, “The Maribaya Lodge” berada persis di lereng Perbukitan Maribaya yang memiliki ketinggian kurang lebih 2.080 mdpl. Dari Tebing Keraton, destinasi berluas lebih dari tiga hektar ini dapat digapai dalam hitungan kira-kira satu jam.

Sampai di “The Lodge Maribaya” tengah hari, konsentrasi saya: mengisi perut di “The Pine Coffee,” yang menjajajakan beraneka kuliner, tak jauh dari pintu masuk. Duduk sambil menyanyah gado-gado, saya menikmati pemandangan sekitar yang dionggoki rupa-rupa wahana permainan dan objek untuk berfoto. Mulai dari balon udara, zip bike, gantole, ayunan sky wing, bamboo sky, hingga glass deck dan sky tree.

Di destinasi wisata kekinian ini, para pengunjung memang sengaja tak dibiarkan mematung diri sebab pengelola telah dipersenjatai amunisi atraktif yang memancing gairah pengunjung untuk memotret atau bergerak aktif memacu adrenalin. Di luar wahana yang tersebut tadi, pengunjung bisa menikmati aktifitas lain semisal trekking mengelilingi area hutan pinus yang berada di seberang sungai.

Saya sendiri usai makan siang, menjajal zip bike bermodal Rp25.000,-. Wahana ini termasuk satu yang paling digandrungi. Terbukti, saat hendak menaikinya, saya harus rela mengantri hingga beberapa waktu. Tapi terbayar: sensasi gowes di atas ketinggian terbukti lumayan menegangkan. Panorama dari ketinggian yang disajikan juga tak kalah keren. Bonus lebihnya, foto-foto kece hasil jepretan fotografer tempatan yang memang disiapkan pengelola.

“Satu foto sepuluh ribu, Kang. Nanti pilih saja dan langsung ditransfer ke hape,” seru sang fotografer.

Saya bergerak menjauhi “The Maribaya Lodge” sekitar pukul tiga sore, menuju Orchid Forest Cikole (OFC), wadah relaksasi yang tengah menikmati zona emas sebagai destinasi ngehits di Bandung. Namanya makin melambung pasca dipilih jadi venue pegelaran musik antarbangsa bertajuk Lalala Fest, Februari 2019 lalu.

Bercokol di tengah-tengah hutan pinus, OFC adalah destinasi ecotourism yang menjadikan anggrek sebagai senjata mendulang pengunjung. Bagi penggemar anggrek, OFC surganya, wadah bagi tidak kurang dari 157 jenis anggrek yang dibudidayakan dalam lahan seluas 12 hektar. Di masa depan, OFC bahkan bakal dikerek menjadi kawasan hutan anggrek terbesar di Indonesia.

Seabrek spot berfoto dibangun Orchid Forest Cikole, satu di antaranya yang instagenik berada di Orchid House. (Foto: Edi Sutrisno)

Menjejaki OFC menjelang sore, selepas membayar tiket masuk Rp35.000,-, saya diberi laluan untuk menjelajahi satu-satu spot uniknya yang selama ini sukses menyedot animo kalangan muda. Pertama, saya dekati satu deret bangunan kaca yang disemati nama Orchid House atau Museum Anggrek. Ratusan jenis anggrek ter-display cantik di rumah anggrek yang bertengger di sisi tengah hutan pinus itu. Di pintu museum, pengunjung dicegat deretan anggrek bulan dan denrobium yang berbunga khas putih dan keungu-unguan. Area dalam, berbagai jenis anggrek langka ditempatkan khusus dalam rumah-rumahan kaca, semisal keluarga dendrobium hingga paphiopedilum. Satu rumah-rumahan lagi, dihuni beberapa anggrek endemis Amerika Latin, dua yang terkenal adalah anggrek dracula serta triplicata cochleata atau kerap disebut anggrek cumi-cumi.

Di zona ini, para pengunjung selain dapat belajar langsung cara merawat anggrek, tersedia pula rampai spot berfoto yang sengaja dibangun pengelola bagi pengunjung, semisal di ujung Orchid House. Panggung berlatar beragam bunga anggrek beserta taman yang didesain mini itu, jadi salah satu titik berfoto favorit di OFC.

Spot kedua, saya sambangi wood bridge, jembatan gantung sepanjang 500 meter yang sekujur kakinya dirambati lampu. Menapaki jembatan ini di kala malam tentu menyemburatkan sensasi tersendiri, selain efek cahaya yang memberi kesan unik, pengunjung juga “diajak” bergoyang-goyang di permukaan jembatan yang terikat dari pohon satu ke pohon lainnya. Satu lagi, instagramable spot OFC yang kerap membetot perhatian banyak orang.

Saya akhiri penelusuran ke OFC dengan berjalan ke Garden of Lights atau Taman Cahaya yang berlokasi di bawah wood bridge. Taman ini juga memanfaatkan permainan cahaya untuk menarik atensi pengunjung. Pengelola memasang lampu-lampu sebesar bola pingpong di sela-sela hamparan rumput. Hasilnya, pendar cahaya menyeruak di antara gelap dan dinginnya hutan pinus. Permainan lighting ini tak luput jadi latar berfoto pengunjung yang unik, apalagi lampu-lampu yang terpasang menyala setiap waktu dengan warna yang berbeda-beda.

Dari Lembang, saya menuju ke arah kota, kembali ke Kollektiv Hotel, salah satu wadah menginap yang paling favorit di kalangan anak muda. Sebagai butik hotel pertama di Bandung yang memanfaatkan kontainer sebagai ruang tinggal, Kollektif Hotel bermaksud menawarkan pengalaman menginap yang tak biasa. Tak heran kalau sang pengelola menyiapkan rampai amenitas kontemporer berupa disain dan interior yang unik, minimalis dan modern. Hampir setiap penjuru ruang dionggoki sudut-sudut cantik nan instagramable.

Koridor kamar, misalnya, terlihat apik berkat kehadiran tanaman rambat yang mengular di railing-nya. Void besar yang berada di tengah bangunan juga menawarkan view menawan berwujud lobi yang dikombinasikan dengan area duduk ber-style mid-century. Ketika indoor sitting area penuh, tamu bisa menggunakan area luar untuk bersantap atau sekedar duduk-duduk santai ditemani keberadaan lampu-lampu dekoratif.

Saya beruntung, memesan kamar via online jauh-jauh hari sehingga beroleh kamar selama tiga malam berturut-turut dengan harga yang oke. Hotel ini nyatanya senantiasa full house hampir setiap saat, lebih-lebih di akhir pekan.

Memulai pagi, kali ini ditemani seorang teman warga lokal, saya menyeruput kopi di restorannya yang menyatu dengan lobi hotel. Sekelompok anak-anak muda sudah terlihat ramai memenuhi meja-meja restoran, terutama area luar. Beberapa di antaranya larut dalam keseruan, berswafoto di sejumlah sudut. Lainnya, terlihat asyik mengarahkan lensa kamera ke makanan yang terhidang sebelum menyantapnya. “Maaf, minta tolong, boleh fotokan kami?” Satu di antaranya tiba-tiba mendekat. Sambil tersenyum saya mengiyakan dan langsung mendekati mereka. “Oke, siap-siap, satu…dua….tiga. Sekali lagi, satu…dua..tiga.” Dari meja sebelah, temen saya tertawa. “Tukang foto handal, oei,” serunya sambil mengacungkan jempol.

Itinerary hari ini, saya sambangi Forest Walk yang berada di area Taman Babakan Siliwangi. Berada di tengah-tengah kota, Forest Walk adalah hasil tangan dingin sang Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Sebelumnya, sebagai taman kota, Babakan Siliwangi yang merupakan kawasan lembah bentukan Sungai Cikapundung, sudah dikenal tapi kerap diluputkan orang. Namun dalam perjalanannya, kini hutan yang berfungsi sebagai paru-paru kota ini malah telah ditetapkan UNESCO sebagai hutan kota.

Pasca diresmikan Januari 2018, Forest Walk yang diklaim sebagai salah satu forest walk terpanjang di Asia Tenggara ini, menjadi viral. Foto-foto apiknya plus review dari para netizen, berseliweran di media sosial. Alhasil, sejak itu pula, Forest Walk bak gula yang dikerubungi semut. Selalu ditumpahruahi pengunjung.

Menjauhi keramaian sekaligus merasai atmosfir hutan, bukan satu-satunya alasan orang untuk mendatangi Forest Walk. (Foto: Edi Sutrisno).

Pagi itu, ketika tiba di pintu gerbangnya, suasana asri langsung menyergap. Kerumunan orang menumpuki area parkir. Pagi yang cukup riuh. Perlahan, saya mulai menapaki lantai kayu Forest Walk, berjalan mengikuti alurnya yang berkelok-kelok. Semakin jauh melangkah, Forest Walk baru menunjukkan jati diri yang sebenarnya: asri berbalut atmosfir hening. Ternyata, keramaian sesungguhnya hanya terjadi di beberapa titik. Selebihnya, taman kota ini dibekap sunyi.

Di sejumlah lokasi, saya mendapati area terbuka yang didereti sejumlah bangunan tua, konon tempat ini difungsikan sebagai public area bagi warga untuk menaja gathering, diskusi, sarasehan hingga pentas seni. Atap-atap gedungnya, sebagian besar disemaki dedaunan kering sehingga terlihat kusam namun berkesan menyatu dengan alam.

Tidak dikenakan biaya apa pun alias sonder entrance fee untuk masuk ke area Forest Walk. Yang bikin tambah betah netizen, area ini dikungkungi WiFi gratis dengan password “Bandung Juara.” Hanya “on” di beberapa titik aja, terutama yang dekat dengan gerbang, namun setidaknya jadi bonus lebih sehingga pengunjung dapat leluasa mem-feeding laman-laman medsos hasil bidikannya tanpa menggerus data internet.

Lepas menyusuri Forest Walk, saya bergegas meninggalkan kawasan kota menuju Ranca Upas yang berada di di Jalan Ciwidey-Patengan KM 11, Patengan, Rancabali. Menuju ke sana cukup memakan waktu sebab harus melintasi jalur Bandung-Ciweday yang dipadati kendaraan. Tapi menyerukan, terutama ketika sudah berada di kawasan Ciweday, kendaraan melintasi jalan mengular di lereng dan punggung perbukitan, yang kanan kirinya dihampari sawah terasiring serta perkebunan sayur.

Tiba di Ranca Upas pukul tujuh malam, setelah rehat sejenak, saya bersegera menuju kolam pemandian air panasnya yang berada di sisi bawah. Satu dua pengunjung terlihat berada di bibir dan tengah kolam. Ke Ranca Upas, berendam adalah aktifitas mengasyikkan yang jamak dilakukan orang, dan malam adalah waktu terbaik. Selain relatif sepi pengunjung, berendam agaknya jadi satu-satunya cara ampuh mengusir hawa dingin Ranca Upas yang sekali waktu lumayan ekstrim. Sejam lebih menghangatkan badan, saya beranjak menuju camping ground, tempat saya bermalam. Sebelum terlelap, saya sempat mewanti-wanti teman untuk membangunkan saya pukul enam pagi. “Please, jangan sampai lewat, ya.”

Pengalaman tak biasa yang disajikan Ranca Upas: bercengkerama dengan rusa. (Foto: Edi Sutrisno)

Paginya, temen saya memenuhi janji, membangunkan setengah jam lebih awal. Bersamanya, saya cepat-cepat ke luar tenda. Sambil menahan dingin, mata saya terus tertuju di hamparan Ranca Upas yang pagi ini menghadiahkan panorama memukau: deretan kabut tipis menggerayangi tempat kami berkemah. Kilau lembut cahaya matahari yang menyusup di sela-selanya, menambah dramatis tempat ini. Jepretan kamera menyalak di mana-mana. Hampir tidak bercelah, setiap sudut menawarkan angle terbaik untuk dibidik. Sarapan pagi yang sempurna!

Menjelang siang, saya jauhi area perkemahan menuju tempat penangkaran rusa, satu wahana yang juga paling diingini pengunjung kala beranjangsana ke Ranca Upas. Posisinya tak jauh, cukup berjalan kaki beberapa menit, penangkaran rusa sudah bisa dijangkau. Rusa-rusa di kawasan ini dibiarkan hidup dan berkembang-biak mengikut habitat aslinya. Momen-momen yang kerap dikejar, selain membidikkan kamera ke arah rusa dengan latar lanskap pegunungan yang apik, adalah ketika bercengkerama dengan rusa: memberi makan hingga membelai bulu-bulu halusnya.

Di akhir kunjungan, di jalan menuju kota, saya sempatkan berhenti di lokasi tempat para penjaja dodol strawberry. Oleh-oleh khas yang satu ini diracik penduduk lokal yang tinggal di sekitar Ciwidey atau Ranca Upas. Biasanya warga sekitar memiliki perkebunan strawberry yang buahnya diambil dan diolah sendiri. Dibuat alami dan fresh, langsung dari kebunnya, saya menenteng beberapa bungkus dodol strawberry lalu, perlahan meninggalkan Ranca Upas.

Sampai di kawasan kota, Bandung sore itu cerah. Memungkasi kunjungan ke kota kembang ini, saya putuskan mendatangi China Town, wadah rekreasi kreatif yang menyita perhatian publik berkat kemampuannya menghadirkan wajah “oriental” nan kental nuansa pecinan.

China Town menyempil di antara gedung-gedung sepuh di Jalan Kelenteng, namun terlihat mencolok oleh keberadaan pintu gerbangnya yang didominasi warna merah. Mudah menandainya, pun oleh orang yang sama sekali belum pernah menyambanginya, termasuk saya. Apalagi lokasinya hanya selemparan batu dengan Vihara Satya Budhi, satu di antara deretan kelenteng tertua yang dimiliki Bandung.

Quini Kidung Kinanti, selebgram lokal berselfi-ria dalam balutan kostum tradisional Tionghoa di depan pintu masuk food court China Town Bandung. (Foto: Edi Sutrisno)

Selepas membayar tiket masuk yang berada tak jauh dari pintu gerbang, saya mengawali kunjungan dengan mendatangi Bandung China Town Museum, museum mini yang berisikan lini masa perjalanan historis etnis Tionghoa sejak mula tiba hingga mulai bermastautin di Bandung. Berbagai benda lawas tergeletak rapi di sisi tengah: teko, piring, setrika, cangkir, tv, radio hingga rupa-rupa keramik. Dua sepeda onthel dipajang, satu di bagian tengah ruangan, sementara satunya lagi bertengger persis di sisi kiri pintu masuk.

Dari museum, saya meneroka kedai-kedai berfasad oriental, yang didominasi warna merah cerah. Barisan lampion tergantung rapi menghiasi pintu-pintunya. Masing-masing kedai ditata sedemikian rupa dengan interior tematik. Tak ayal kalau keberadaannya menyita atensi pengunjung. Satu di antaranya “Ching-Ching Boutique,” selain berdisain unik, kedai ini bahkan difungsikan sekaligus sebagai sentra costum rental bagi pengunjung yang hendak berfoto dengan balutan kostum dan pernak-pernik ala Tionghoa.

Beberapa depa dari deretan kedai, terhampar lanskap luar yang tak kalah memantik perhatian. Hampir semua sudut adalah objek swafoto apik yang menanti dibidiki kamera. Sebut misalnya jembatan merah atau pagoda kuning yang difungsikan juga sebagai zona bersantai pengunjung. Di dua spot ini, silih berganti barisan anak-anak muda larut dalam keseruan, mengabadikan diri dalam berbagai pose khas generasi millennial.

Mengakhiri kunjungan, saya beranjak menuju area food court yang bersebelahan dengan Dinsum & Nasi Hainan, restoran yang khusus menjajakan menu khas Tionghoa. Kendati diformat dalam warna dan atmosfir pecinan, food court di China Town mengangkat juga kuliner lokal sebagai titik atensi. Maka, muncullah soto, sate, cilok hingga batagor. Duduk di deretan bangku paling ujung, saya memesan cilok dan secangkir teh hangat sambil menikmati interior food court yang dindingnya dipenuhi coretan mural, sementara langit-langitnya bergantungan sangkar burung yang dibuat dari rangka kayu. Seperti di Kollektiv Hotel, malam itu, saya kebagian lagi “jatah” dihampiri pengunjung yang meminta mengabadikan ritual berfoto mereka.

Hari terakhir, selepas menyambangi China Town, saya bergerak menuju Bandara Kertajati. Di perjalanan, saya seperti anak-anak yang baru saja dapat mainan. Sumringah dan terus dihantui konklusi subjektif ini: Bandung tak melulu sukses memadukan eksotisme lanskapnya yang rancak dengan kreatifitas warganya yang mumpuni, tapi juga piawai memenuhi ekspektasi publik dalam menerjemahkan pergeseran “perilaku” wisatawan di era milenial.

Setelah melalui hampir tiga jam perjalanan, saya akhirnya tiba di bandara, dan perlahan berjalan menuju konter check-in. Langkah saya terhenti tiba-tiba ketika seorang perempuan muda menyapa sambil menunjukkan sebuah sudut unik di bandara anyar milik warga Jawa Barat ini. “Bisa bantu fotokan saya,” pintanya halus. Ah, seperti yang sudah-sudah, saya cuma tersenyum dan tak kuasa menolak.(Edi Sutrisno)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here