Oleh: Murparsaulian
Seorang penulis dan penggiat media kreatif
Jauh sebelum mengenal aksara, manusia adalah makhluk pengingat. Lalu kehadirannya perlahan membunuh keterampilan menghafal manusia. Makhluk yang mengaku paling sempurna itu (manusia) dimanjakan dengan aksara yang terus bertransformasi. Tidak hanya dalam bentuk tulisan, berkembang pesat dalam beragam platform. Manusia tidak lagi champin mengingat. Dan lebih memilih tampil narsis di media sosial berharap respon jempol dan komen puji-pujian. Literasi itupun seperti sebuah kutukan, tercerabut dari tugas besarnya sebagai penghalus akal budi.
Fenomena ini terungkap dalam syarahan Prof. Yusmar Yusuf (YY) bertajuk Pembatinan Kebudayaan. Kenapa Literasi? Diskusi yang dimoderatori oleh Bambang Kariyawan Ys, seorang sastrawan dan pegiat literasi ini, dilangsungkan di base camp Salmah Publishing, Sabtu, 14 Januari lalu. Terlihat hadir Jefri Al-Malay (Dosen dan penggiat kebudayaan), Fedli Azis (Ketua Dewan Kesenian kota Pekanbaru), Hening Wicara (penulis), Syahrian Jambak (penulis), Rian Harahap (penulis dan seniman teater), dan para pelaku serta penggiat literasi dari Salmah Creative Writing (SCW).
Diskusi ini juga diwarnai dengan performance para seniman dan penyair antara lain Fedli Azis dengan monolog singkat (Migran Terakhir), Pembacaan puisi oleh Oma anggota SCW yang aktif walaupun sudah tidak lagi berusia muda dan Asqalani eNeSTe dengan puisinya bertajuk Bimbilibica Buku Harian Zlata.
Plato pernah menyebutkan literasi sudah jadi skandal peradaban manusia sejak lama. Aksara juga memaktub Undang-Undang yang menakut-nakuti rakyat. Adam tidak mengenal aksara. Maka Adam tidak mengenal skandal ini. Di era paragon, setelah Hermes (bani Adam ke-5), barulah dikenal aksara. Pada hakikatnya literasi itu membawa cahaya bagi manusia. Bukan hanya sebagai pengumpul ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu, menjunjung akal budi dari tungkai-tungkai huruf yang disusun menjadi jalinan kata-kata yang bermakna.
Yusmar Yusuf dengan gaya khasnya mengetuk pikiran peserta yang hadir dalam diskusi panjang sedari siang hingga petang dengan dua kali rehat sholat Ashar dan sholat maghrib itu. Kontemplasi pemikirannya merayau selat filsafat ilmu pengetahuan dan kelananya dalam lorong “Urban Tasawuf” yang berkolaborasi dengan para pengelana Afrika Utara dan Eropa diserakkannya kepada pikiran peserta diskusi yang hadir.
Tradisi traveling (passing out) atau merantau penting dilakukan oleh seorang penulis untuk menikmati manis madunya hidup di luar home base atau keluar dari zona nyaman. Literasi spiritual, berjalan dan berzikir di tanah-tanah liar sebagai bentuk dari culture refinement (penyempurnaan kebudayaan). Kreatifitas yang bermuara dari menggerakkan sel-sel dalam tubuh dengan pemikiran yang lasak dan kontemplatif. Sebagai bahagian dari literasi di mana manusia mengolah ilmu dengan ‘’resa’’sebagai alat penyelamat kehidupan (survival kit).
Literasi Kritis (kemampuan mengkritisi)
Budaya mengkritik, masih asing di tengah geliat kreatifitas literasi kita saat ini, padahal menikmati perbedaan adalah salah satu kerangka memperhalus akal budi. Perlu anasir-anasir kritis untuk membentuk peradaban literasi yang kuat. Budaya menyangsikan, tidak langsung percaya dan menerima apa yang didedahkan. Seperti Socrates dan Lysis (pangeran Athena) yang berdebat berhari-hari untuk mendapatkan definisi cinta dan persahabatan. Apakah persahabatan itu harus reciprocite (timbal balik), Similarity (sama), atau Different (berbeda).
Persahabatan yang didasarkan atas kesalingan, ada hubungan timbal balik yang terlihat di dunia media sosial dan beberapa grup WhatsApp saat ini. Kadar semu (saling puji memuji), jadi buruan jinak sang pemburu like dan jempol. Pertemanan atas kesamaan. Baik bergabung dengan baik dan jahat bergabung dengan yang jahat. Seterusnya perkawanan karena perbedaan secara pemikiran, sudut pandang dan sebagainya.
Untuk mendapatkan puncak ilmu itu mesti melewati persanggahan. Walaupun pada akhirnya perdebatan antara Socrates dan Lysis yang terjadi dalam sebuah Gymnasium itu berakhir aporetik @apora atau jalan buntu. Persahabatan itu bisa dijalin oleh orang yang tidak murni baik dan tidak murni jahat, ialah para awam. Inti persahabatan bisa pada sesuatu objek yang mengantarai antara saya dan kamu seperti Epithumia (seks), Thumos (pride/rasa bangga), dan nucleus (pikiran dan akal budi). Puncak persahabatan yang terbaik adalah seperti cinta pertama yang genuine (asli), murni dari hati.
Bukan karena paras, kepintaran yang dimiliki dan lain-lain. Dari persahabatanlah muncul ruang-ruang diskusi. Demi memetik putik-putik pengetahuan. Seperti pelaku literasi yang bersetia mungulik teks dengan berbagai teori pertentangan dan pencarian. Sebab makhluk teks itu bertanggung-jawab secara literer sepanjang hidupnya. Pengabdian yang murni terhadap literasi. Melontarkan dan mencemplungkan diri dan menikmati orang berbeda dengan kita.
Kerajaan Imajinasi
Ketika masuk dalam dunia literasi, kita adalah mahluk teks yang memiliki kesadaran tekstual. Memahami berbagai polemik yang ada. Menyusuri kerimbunan teks sebagai mahluk ‘’pengganggu peradaban’’. Mencari ciri khas masing-masing yang diistilahkan Yusmar Yusuf sebagai ‘’tude’’ di akhir nama penulis. Sebagai contoh; Siti Salmahtude, Bambang Karyawantude, Jefri Almalaytude, Hening Wicaratude, dan seterusnya. Berkarya bukan untuk pujian, namun menjalankan tugas besar sebagai pemungut wahyu-wahyu yang tercecer yang tidak ditemukan pada kitab-kitab.
Martin Heidegger, filsuf Jerman yang terkenal dengan bukunya berjudul Sein Und Zeit (Being and Time/wujud dan waktu). On Mineness, bagi Heidegger; apa yang mendefenisikan manusia berupa kemampuan untuk membingungkan. Pertanyaan tentang menjadi yang juga pernah diajukan Aristoteles yang kemudian dikenal dengan metafisika. Begitu juga dengan pelaku literasi, harus merawat kepekaan dan melakukan perenungan-perenungan.
Mungkin seperti konsep hati nurani Heidegger. Atau untuk menghilangkan kebingungan yang diucapkan Hamlet; To be, or not to be (menjadi atau tidak menjadi). Teks itu begitu rimbun untuk dimasuki dan disusuri. Ciptakanlah kerajaan imajinasi dalam diri. Seperti para saintis yang berhutang budi pada imajinasi. Penemuan-penemuan yang ditemukan para ilmuwan tidak terlepas dari proses imajinasi. Lalu imajinasi itu dikejar dengan berbagai teori dan eksperimen. Sebut saja Dennis Gabor penemu holograf yang dapat ide pertama kali ketika menonton tenis dan akhirnya penemuannya itu mendapat penghargaan nobel bidang fisika pada tahun 1971.
Sebagai manusia literasi, rawatlah hidup dalam ruang-ruang kreatifitas, melompat tembok dan cobalah sekali-kali dengan cara out the box (tidak biasa). Literasi saat ini tidak semata menyangkut karya-karya teks, tetapi mencakup produk budaya; segala cabang seni dan warisan natural yang mencerahkan dengan memperhalus akal budi. Bukan sekadar tampil di media sosial dengan narsis. Namun mampu mencipta media yang kreatif dan inspiratif. Puncanya adalah akal budi.