Beranda Berita Utama Meramu Literasi Berulam Pustaka

Meramu Literasi Berulam Pustaka

0
Fakhriyansyah, S.Pd, Ketua Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI) Kota Tanjungpinang

Zaman Now merupakan zamannya teknologi, digital dan serba canggih. Hal ini menyebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal yang konvensional (termasuk buku) menjadi hal yang terpinggirkan atau diketepikan. Banyak orang yang mulai beralih paradigma dengan mempolakan dirinya dengan hal yang lebih kekinian, salah satunya lebih cenderung membaca pesan singkat, whatsapp, facebook atau media sosial lainnya.

Keaktifan orang “zaman now” ini membuat buku konvensional atau buku yang sebenarnya tak lagi disentuh. Mereka membiarkan buku-buku itu terdiam, terpaku dan terbiar dalam rak yang ada.

Secara etimologis, buku memiliki arti kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Jika kita membahas masalah ini, akan timbul sebuah persepsi bahwa buku tak selamanya kumpulan kertas atau lembaran, akan tetapi buku yang diartikan menyesuaikan dengan perkembangan zaman, juga berupa kumpulan laman digital yang dapat dilihat dari media yang ada, seperti telepon selular.

Dewasa ini buku dan telepon selular bagaikan dua sisi mata uang yang berlainan. Namun keduanya sangat dibutuhkan oleh manusia zaman modern seperti ini. Mulai digencarkan gerakan literasi yang memiliki program yang sangat baik. Output dari program ini dapat mencetak generasi milenial yang kaya akan informasi, gemar membaca dan memiliki pengetahuan yang luas.

Apakah itu literasi? Nah, disini kita akan membahas tuntas terkait literasi yang disampaikan pada pernyataan sebelumnya. Pada dasarnya, literasi bukanlah suatu istilah baru, hanya saja bagi sebagian orang, kata tersebut adalah kata-kata asing yang belum diketahui maknanya. Sebenarnya ini bukan suatu hal yang mengherankan juga, mengingat kata tersebut memang memiliki makna yang komplek dan dinamis, sementara masih banyak orang pula yang terus mendefinisikannya dengan berbagai cara serta sudut pandang.

Istilah literasi dalam bahasa latin disebut sebagai literatus yang artinya adalah orang yang belajar. Lebih lanjut lagi, UNESCO juga menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks dimana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Menurut UNESCO, pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nila-nilai budaya serta pengalaman.

Baca Juga :  WWF Bali Kampanye Hiu Di Laut, Bukan Di Mangkuk

Dari beberapa pengertian tersebut, kita kemudian tahu bahwa yang namanya literasi itu tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Kita bisa disebut sebagai orang yang memiliki kemampuan literasi bila kita sudah mendapatkan kemampuan dasar dalam berbahasa yakni menyimak, berbicara, membaca serta menulis, sehingga dengan demikian kita juga tahu bahwa kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan tulis adalah pintu pengembangan makna literasi selanjutnya.

Dalam penerapannya, literasi telah ditetapkan sebagai suatu aksi nyata yang harus dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan. Pola pelaksanaannya telah diatur sedemikian rupa oleh satuan pendidikan yang ada. Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang dikelola unit-unit kerja terkait. Gerakan Literasi Masyarakat, misalnya, sudah lama dikembangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas), sebagai tindak lanjut dari program pemberantasan buta aksara yang mendapatkan penghargaan UNESCO pada tahun 2012 (angka melek aksara sebesar 96,51%).

Sejak tahun 2015 Ditjen PAUD Dikmas juga menggerakkan literasi keluarga dalam rangka pemberdayaan keluarga meningkatkan minat baca anak.

Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal. Ini merupakan bukti konkrit yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menumbuhkembangkan budaya gemar membaca dikalangan masyarakat sekolah.

Berbicara tentang buku, tidak terlepas dari peran pentingnya sebuah perpustakaan. Perpustakaan sekolah memang harus diisi dengan buku-buku terbaik. Pengelola perpustakaan harus pandai mencari, memilih dan menyajikan buku-buku yang bermanfaat buat siswa di sekolah. Bila anak-anak sudah senang membaca buku maka budaya baca akan menjadi budaya sekolah yang dibanggakan. Dari budaya baca akan berkembang menjadi budaya tulis memulis. Hal itulah yang sering disebut orang dengan budaya literasi.

Baca Juga :  Baru Semester Satu, Mahasiswi STAI MU Ini Bikin Dewan Juri LKTI Terkejut

Peran perpustakaan sekolah dalam meningkatkan budaya literasi harus menjadi perhatian pimpinan sekolah. Ajak anak-anak kita menyenangi perpustakaan sekolahnya. Beri mereka kesempatan untuk membaca buku yang disukainya. Biarkan pikiran mereka melanglang buana dari buku yang dibacanya. Jadikan buku sebagai gudang ilmu dan inspirasi bagi siswa. Biarkan buku mengajak mereka berkeliling dunia.

Pengelola perpustakaan atau sering disebut pustakawan tidak hanya duduk diam. Harus lebih aktif, atraktif dan komunikatif kepada pengunjung perpustakaan yang kini dikenal dengan pemustaka. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mencuri perhatian pemustaka untuk berkunjung ke perpustakaan. Inovasi yang menarik dan jitu menjadi tumpuan agar pemustaka lebih ramai berkunjung serta akan merindukan perpustakaan untuk berkunjung kembali.

Untuk menyempurnakan kegiatan atau program ini, diperlukan SDM yang mumpuni. Tidak hanya lulusan ilmu perpustakaan saja yang mampu mengurusi hal itu, akan tetapi disiplin ilmu apa saja dapat melaksanakan pekerjaan di perpustakaan. Kecintaan atas literasi menjadikan pengelola perpustakaan itu menjadi enjoy dan nyaman untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pemustaka.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah suatu gerakan untuk membiasakan warga sekolah yang tidak hanya siswa sebagai sasarannya juga termasuk guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah tersebut. Gerakan ini merupakan program pemerintah dalam menekan tingkat kepedulian masyarakat untuk gemar membaca. Program ini dilaksanakan secara terjadwal dan terintegrasi dengan jam pembelajaran pada masing-masing sekolah. Pelaksanaannya dapat menyesuaikan dan ditentukan oleh sekolah. GLS ini dilaksanakan selama 15 menit sebelum proses belajar dimulai dengan membaca buku non pelajaran.

Peran penting perpustakaan sekolah kini menjadi tolak ukur keberhasilan program GLS ini. Terutama penyajian buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah. Berikan kesempatan kepada siswa untuk memilih buku bacaan di perpustakaan. Pada dasarnya, buku yang dibawa untuk GLS adalah buku milik pribadi siswa tersebut bukan buku yang ada di perpustakaan.

Baca Juga :  TP-PKK Kepri Meriahkan Usia ke-15 Rumah Bahagia Bintan

Akan tetapi, disini peranan pengelola perpustakaan mulai berjalan. Trik khusus untuk memberikan pembelajaran karakter akhlak mulia tentang tanggung jawab kepada siswa tersebut mulai dilaksanakan. Berikan pengertian dan pemahaman bahwa ada aturan dalam pelaksanaan GLS. Bukan berarti mengekang atau menghalangi siswa dalam meminjam buku perpustakaan, akan tetapi membiasakan siswa untuk membawa buku non pelajaran yang dimilikinya yang dibawa dari rumah.

Pada intinya, pengelola perpustakaan memilki peran penting dalam pelaksanaan GLS tersebut. Sebagai pengelola perpustakaan harus lebih aktif untuk menggali informasi terkait keinginan pemustaka dalam selera membaca buku. Pendekatan yang baik dengan pemustaka perlu dilakukan agar dapat mengetahui apa masukan yang baik untuk perpustakaan. Meski dengan segudang pekerjaan yang dihadapi oleh pengelola perpustakaan, program GLS ini harus didukung sepenuhnya.

Sebagai pengelola perpustakaan tidak hanya duduk melayani pemustaka, menjalankan alur peminjaman dan pengembalian buku, merapikan buku, membersihkan rak buku dari debu dan lain sebagainya. Pengelola perpustakaan juga harus menyelesaikan administrasi perpustakaan yang cukup banyak. Salah satunya pengisian buku induk yang merupakan bagian vital dari perpustakaan. Buku induk wajib dimiliki oleh semua perpustakaan. Di buku induk itu diisi terkait identitas buku secara detail dan menyeluruh. Terdapat rangkaian panjang dalam menyelesaikan administrasi sebuah buku. Itu merupakan rutinitas yang dilakukan oleh pengelola perpustakaan setiap hari selain pelayanan kepada pemustaka.

Meramu literasi, berulam pustaka ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, literasi memang tak pernah terlepas dari perpustakaan. Disini dapat diketahui bahwa perpustakaan merupakan wadah utama dalam mengembangkan budaya gemar membaca dan peningkatan mutu pendidikan. Perpustakaan menjadi objek vital yang harus diperhitungkan dalam prioritas utama pada setiap sekolah. Serta pengelola perpustakaan atau tenaga perpustakaan menjadi pemeran utama pada maju atau mundurnya perpustakaan dan gerakan literasi tersebut. Semuanya memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat yang tak dapat dipisahkan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here