Beranda Kolom Opini Jangan Ada Kekerasan (Lagi) di Lingkungan Pendidikan

Jangan Ada Kekerasan (Lagi) di Lingkungan Pendidikan

0
Untung Wahyudi

Oleh: Untung Wahyudi

Selama ini, kasus perundungan di lingkungan satuan pendidikan sering kali terjadi. Tidak hanya terjadi sesama siswa, tapi juga antara siswa dan guru. Seperti halnya kasus guru yang dibacok siswanya sendiri, yang baru-baru ini viral. Bahkan, ada guru yang dipukul orang tua siswa karena tidak terima anaknya diberi sanksi.

Kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini menuntut kesadaran semua pihak untuk sama-sama mencegah tindak kekerasan yang selama ini terjadi. Peran kepala sekolah dan guru untuk menanamkan pendidikan moral kepada siswa hendaklah lebih digalakkan agar tindak kekerasan tidak semakin merajalela.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebenarnya sudah memberikan solusi penanganan dan pencegahan seperti tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbudristek ini merupakan bagian dari program Merdeka Belajar episode ke-25 yang diluncurkan pada 8 Agustus 2023 lalu.

Dalam peluncuran Merdeka Belajar episode ke-25 tersebut, Mendikbudristek Nadiem Makarim menjelaskan beberapa hal terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Menurutnya, kekerasan di lingkungan pendidikan sudah seperti pandemi. Sangat mengkhawatirkan dan mengerikan. Hal ini yang mendorongnya mengeluarkan aturan tegas untuk memerangi kekerasan di sekolah.

Menurut Nadiem, kekerasan di sekolah sudah tidak bisa ditolerir lagi. Pelakunya harus ditindak agar menimbulkan efek jera. Jangan sampai ada korban kekerasan lagi karena, jika hal ini terus terjadi maka lingkungan pendidikan akan dianggap tempat yang tidak nyaman untuk melaksanakan kegiatan belajar.

Sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran Kemendikbudristek dalam peluncuran Merdeka Belajar episode ke-25, Permendikbudristek Nomor 46/2023 ini merupakan pembaruan dari Permendikbud Nomor 82/2015. Dalam Permendikbudristek PPKSP dijelaskan secara rinci bentuk kekerasan yang lazim terjadi. Ada 6 bentuk kekerasan yang dijelaskan, di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan.

Cegah Diskriminasi dan Intoleransi

Selama ini, mungkin kita hanya mendengar bahwa kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan berupa kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiayaan, atau pelecehan seksual. Hal ini juga yang ada dalam Permendikbud Nomor 82/2015. Di mana bentuk kekerasan tidak dijelaskan secara rinci. Sementara dalam Permendikbudristek Nomor 46/2023, dijabarkan bahwa tindak kekerasan juga berupa diskriminasi dan intoleransi. Seperti apa kekerasan dalam bentuk diskriminasi dan intoleransi tersebut?

Beberapa bentuk diskriminasi dan intoleransi dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) Permendikbudristek PPKSP, di antaranya: larangan untuk mengikuti pelajaran agama/kepercayaan peserta didik yang diakui pemerintah, pemaksaan untuk mengikuti pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh pendidik yang tidak sesuai dengan agama/kepercayaan peserta didik yang diakui oleh pemerintah, mengistimewakan calon pemimpin/pengurus organisasi berdasarkan latar belakang identitas tertentu di satuan pendidikan.

Intoleransi dalam dunia pendidikan adalah masalah yang sering terjadi di Indonesia. Intoleransi bahkan menjadi satu dari tiga dosa besar dalam dunia pendidikan, bersanding dengan perundungan dan kekerasan seksual. Intoleransi dapat terjadi antara siswa dengan siswa lainnya, antara siswa dengan guru, antara guru dengan guru, atau antara sekolah dengan sekolah lainnya. Intoleransi dapat muncul dalam berbagai bentuk seperti rasisme, seksisme, diskriminasi agama, atau diskriminasi lainnya. Intoleransi dapat memiliki dampak yang buruk pada lingkungan belajar, kesehatan mental siswa, dan pencapaian akademik mereka (kemdikbud.go.id).

Salah satu cara untuk mencegah intoleransi, sebagaimana dikutip dari laman kemdikbud.go.id (13/4/2023) adalah dengan meningkatkan pemahaman siswa tentang keragaman budaya, agama, dan latar belakang. Sekolah dapat menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang dan budaya. Hal ini dapat membantu siswa memahami perbedaan dan kesamaan mereka dengan yang lain. Selain itu, guru dapat menggunakan materi ajar yang beragam dan inklusif dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat melihat keterlibatan mereka dalam materi dan merasa dihargai dalam proses belajar.

Bagong Suyanto (2021) menjelaskan, bersikap dan bertindak intoleran bagi sebagian pelajar sudah bukan hal yang terlalu mengherankan. Tidak hanya melakukan tindakan intoleransi yang dilandasi oleh sikap menolak perbedaan, dalam kehidupan sehari-hari di sekolah sebagian pelajar mengaku juga terbiasa melakukan tindakan perundungan atau persekusi.

Permendikbudristek PPKSP yang dikeluarkan Kemendikbudristek bisa menjadi pedoman untuk menangani dan mencegah tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan nonfisik seperti perundungan, intoleransi dan diskriminasi. Seperti kata Mendikbudristek Nadiem Makarim, sistem pendidikan di Indonesia tidak diskriminatif. Menurutnya, seorang kepala sekolah, guru, dan juga siswa, mereka semua harus inklusif, terbuka, dan antidiskriminasi.

*) Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here