beritakepri.id, TANJUNGPINANG — Rabu (17/7) merupakan hari istimewa bagi Dato Sri Lela Budaya, Rida K Liamsi. Selain usianya genap 77 tahun, sebuah buku novel berlatar sejarah yang ia tulis, diluncurkan sekaligus dibedah di Aula Dinas Pustaka dan Arsip Daerah Provinsi Kepri.
Diberi judul ‘Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang’, acara bedah buku dihadiri sejumlah tokoh seperti Huzrin Hood, anggota DPRD Kepri Iskandarsyah, budayawan DR Abdul Malik, peneliti Sita Rohana, Sejarawan Aswandi Syahri, dosen, guru, pelajar serta seniman dan sastrawan Tanjungpinang.
Acara dibuka Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip Kepri, Novianto. Menurutnya, buku Rida K Liamsi ini menambah koleksi buku ‘muatan lokal’ tentang Kepulauan Riau yang memberikan manfaat untuk generasi mendatang.
“Kami mengharap muncul Rida Rida yang lain agar menambah koleksi buku. Harapannya para penulis lain di Kepri menulis buku tentang sejarah dan budaya yang ada di Kepri,” kata Novianto.
Ketua panitia acara, Jefri Kamil mengatakan, acara ini dibuat untuk mengangkat penulis-penulis Kepri yang sudah punya nama di pentas nasional. Terutama menulis tentang Kepri yang penuh dengan nilai- nilai sejarah. Sebab, banyak buku di Pustaka Kepri saat ini tetapi yang bertema soal lokal masih terbatas.
“Ini kegiatan baik yang harus diperbanyak lagi,” ujarnya.
Moderator bedah buku, Fatih Muftih dalam pengantar menyebutkan, dalam pembabakan sejarah selalu betapa penting peranan seorang wanita. Inilah yang diangkat Rida K Liamsi peranan Tun Irang, nama timang timah Tengku Tengah.
“Umur 76 tahun, Pak Rida K Liamsi masih menulis novel.Luar biasa bukan,” kata Fatih.
Sejarawan Aswandi Syahri sebagai pembahas menyebutkan, Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang merupakan novel sejarah dan bukan sejarah naratif. Menurutnya, para penulis Kepri sejak lama sudah memiliki tradisi menulis novel sejarah. Sebut saja BM Syamsudin dan Hasan Junus. Soal novel ini, Aswandi juga mengkritik adanya kesalahan penanggalan waktu dan nama tokoh.
Narasumber lain, Sita Rohana, Peneliti BPNB Kepri membahas buku Rida K Liamsi dalam cara pandang antropolog menafsirkan karya sastra. Ia menilai sosok Tun Irang luar biasa karena menentukan sejarah di wilayah ini. Peristiwa Tun Irang membuka selak bidai, melepas atau lepak subang sesuatu yang luar biasa. Ada simbol atau tindakan yang bisa ditafsirkan secara budaya.
“Saya menafsirkan yang tersirat dari novel ini,”kata Sita.
Dekan FKIP Umrah, Abdul Malik menilai, Tun Irang menjadi tokoh penting dalam sejarah, bersekutu dengan Bugis melawan Raja Kecik dari Siak bukan karena masalah cinta atau kecemburuan belaka. Tapi, Tun Irang mengambil peranan besar dalam kemaharajaan Melayu Johor Riau Lingga dan Trengganu karena marwah atau harga diri.
“Marwahnya terusik saat kerajaannya dihancurkan. Ayahnya dibunuh. Jadi ia marah kepada Raja Kecik bukan karena cemburu. Raja Kecik menolak nikah dengan dirinya dan lebih memilih menikahi Tengku Kamariah, adik Tun Irang atau Tengku Kamariah,” uajrnya.
Ia mengapresiasi Rida K Liamsi yang mampu menulis novel sejarah. Menulis novel sejarah katanya bukan pekerjaan gampang. Banyak nilai yang bisa diambil dari novel ini.
“Sengketa yang mengubah sejarah ini menurut saya bukan karena masalah cinta. Ini soal marwah,” tegasnya.
Rida K Liamsi dalam bedah buku in juga sempat menjelaskan tentang karyanya. Awalnya judul buku rencananya Luka Cinta Tun Irang. Dalam perjalanannya, ia memberi judul buku Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang setelah melihat peristiwa Tun Irang dalam membuka selak bidai, lepak subang sangat sangat luar biasa.
“Ini karya sastra, bukan tulisan sejarah. Jadi sah-sah saja menafsirkan sesuatu yang secara angka tahun tak pas atau nama tokoh ada yang rekaan,” kata Rida.
Lepak Subang Tun Irang Terinspirasi dari sepotong teks dalam Tuhfat al Nafis (hal.60): “Kemudian Tengku Tengah atau Tun Irang pun berdiri di pintu selasar, membuka (menyelak) bidai, melepak subang di telinganya, sambil dia berkata: “Hai Raja Bugis, jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah aib beta anak beranak, adik beradik. Maka, apabila tertutup aib beta semua, maka relalah beta menjadi hamba Raja Bugis”.
Kalimat puitis diucapkan seorang bangsawan dihadapan para pendekar dari Luwuk yang sedang dalam pengembaraan.
Novel sejarah ini bercerita tentang sosok Tun Irang. Tengku Tengah yang bernama asli Tun Irang mengubah sejarah Kerajaan Johor Riau Pahang dan Trengganu di detik-detik keruntuhannya. Tahun 1719, Kerajaan Johor diambil alih Raja Kecik, pewaris Kerajaan Johor putra Sultan Mahmudsyah II dan dibesarkan di Pagaruyung. Disinilah peran Tun Irang. Tahun 1712, Raja Kecik berhasil dikalahkan.
Tun Irang berhasil mengubah haluan sejarah dan Kerajaan Johor menjadi kerajaan baru bernama Kerajaan Riau Johor dan Pahang. Tun Irang dengan selak bidai dan lepak subang di telinganya bisa memikat hati Upu-Upu Bugis Luwuk. Bersama abangnya, Tengku Sulaiman dan Tun Abbas, mereka mengalahkan Raja Kecil. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Johor Lama ke Ulu Riau di Pulau Bintan.
Dendam membara Tun Irang kepada Raja Kecik disebabkan masalah percintaan dan kemudian dendam itu makin memuncak setelah Raja Kecik membunuh Tun Abdul Jalil, Sultan Johor yang merupakan ayah Tun Irang. Luka sejarah bermula setelah Raja Kecik berhasil mengalahkan Tun Abdul Jalil dan Raja Kecik dilantik menjadi Sultan Johor. Tun Abdul Jalil diangkat sebagai bendahara. Dalam merekat hubungan dengan bendaharanya ini, Raja Kecik bersedia menjadikan anak Tun Abdul Jalil sebagai permaisuri. Dipilihlah putri tertua
Tun Irang bersama abangnya, Tengku Sulaiman bersekutu dengan Upu Bugis Bersaudara berhasil mengalahkan Raja Kecik yang juga iparnya. Persekutuan Melayu Bugis itu menjadikan Tengku Sulaiman menjadi sultan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Tun Irang kemudian menikah dengan Daeng Parani, anak tertua dalam lima bersaudara itu.
Dendamnya makin membara kepada Raja Kecik karena Daeng Parani tewas dua tahun setelah mereka menikah. Dalam sebuah perang di Kedah, Daeng Parani tertembak senapas pemburas milik Raja Kecik. Saat itu, Daeng Parani bersama istrinya, Tun Irang tinggal di Selangor setelah pindah dari Ulu Riau. Perang Kedah menjadi perang kedua Raja Kecik dengan Upu Bugis bersaudara itu. Pernikahan Daeng Parani dengan Tun Irang melahirkan satu putri bernama Raja Maimunah yang kemudian menjadi istri Temenggung Abdul Jamal. Makamnya ada di Pulau Bulang, Kota Batam.
Acara bedah buku dihadiri sejumlah tokoh. Ada tokoh Kepri, Huzrin Hood, Anggota DPRD Kepri, Ing Iskandarsyah, kepala OPD Kepri, Undangan Pemko Tanjungpinang, dan Pemkab Bintan. Jumlah peserta bedah buku sekitar 120 orang.(BK/DD/R)