Catatan Hendry CH Bangun
Saya sebenarnya tidak ingin seperti berpolemik dengan Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers yang dua periode menjadi anggota Dewan Pers dan pernah menjabat Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, terkait artikelnya “Tidak Ada Kewajiban Perusahaan Pers Mendaftar di Dewan Pers”.
Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, saya sudah selesai bertugas di Dewan Pers setelah menjadi anggota dua kali dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua. Kedua, pandangan seperti itu pun pernah disampaikan ahli pers Kamsul Hasan yang juga lama menjadi pengurus PWI.
Catatan Akhir Tahun 2022 – SMSI: Dari Urusan Desa Hingga Mancanegara
Catatan Akhir Tahun – Langkah Strategis SMSI, Turut Merancang Peraturan Terkait Pers
Apa yang disampaikan itu betul adanya, dasarnya Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, yang kalau merujuk ke Pasal 15 ayat (g) mengatakan salah satu fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers. Jadi yang ada adalah fungsi Dewan Pers. Tidak ada kewajiban perusahaan pers untuk mendaftarkan diri. Sifatnya satu arah, bukan resiprokal. Karena beberapa orang bertanya, tulisan itu dimuat di banyak media siber khususnya yang pimpinan atau pemiliknya dari PWI, saya perlu merasa menulis supaya tidak timbul salah faham karena seolah mempertentangkan pendataan dan pendaftaran yang memang berbeda.
UU 40/1999 yang dibuat saat terjadi euphoria reformasi memang dibuat sebebas mungkin akibat trauma dari era Orde Baru yang dengan berbagai upaya ingin membungkam pers. Oleh karena itu salah satu wujud dari betapa hebatnya UU 40/1999 ini adalah tidak ada turunannya entah itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dst. Kalaupun akhirnya ada, maka aturan yang dibuat haruslah berupa swa regulasi yang dibuat masyarakat pers sendiri, difasilitasi Dewan Pers, sebagaimana disebut di Pasal 15 ayat (f) UU 40/1999. Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk pers itu sendiri. Atur sendiri, ya ikuti dan taati, apabila sudah semua sepakat menjadikannya sebagai aturan.
Salah satu tonggak dari kekompakan masyarakat pers dalam mengatur dirinya sendiri itu, tertuang di Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani pimpinan media arus utama Indonesia di Hari Pers Nasional 2010 di Sumatera Selatan. Kala itu, media cetak masih berjaya sehingga kerelaan, keikhlasan untuk diatur oleh Dewan Pers, secara simbolis melambangkan sikap dari sebagian besar masyarakat pers Indonesia.
Ada dua poin penting dari Piagam Palembang yang historis ini, saya kutip agar kita ingat lagi:
Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.
Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para penandatangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telak melaksanakan kesepakatan ini.
Dasar dari kesediaan itu, sebagaimana disebut dalam alinea kedua preambule Piagam Palembang, “Dalam mewujudkan kemerdekaan pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan. Agar pelaksanaan kemerdekaan pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan makna dan asas kemerdekaan pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan pers yang profesional, tunduk kepada undang-undang tentang pers, taat terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional oleh masyarakat luas.”
Kebersediaan diatur ini tentu karena asumsi, keyakinan bahwa Dewan Pers sudah independen sejak UU No.40/1999 berlaku, yang anggotanya tidak lagi ditunjuk pemerintah seperti sebelumnya, tetapi dipilih masyarakat pers sendiri, dari kalangan wartawan, perusahaan pers, dan masyarakat. Dengan kata lain, menyerahkan diri diatur Dewan Pers artinya sama dengan mengatur diri sendiri alias swaregulasi. Mengatur sesuai dengan kehendak kalangan pers sendiri.
Adanya Piagam Palembang ini berkonsekuensi banyak. Apabila wartawan di media “besar” sebelumnya malas dan merasa tidak perlu untuk ikut uji kompetensi, perlahan tapi pasti mulai bersedia. Wajar karena perusahaannya sudah menyatakan bersedia sepenuhnya mengikuti Standar Kompetensi Wartawan, yang antara lain menetapkan Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus bersertifikat Wartawan Utama. Tidak ikut berarti, secara struktural karier si wartawan tidak akan sampai di puncak.
Perusahaan Pers dengan kesediaan itu, mewajibkan dirinya memberi gaji minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) 13 kali setahun (termasuk Tunjangan Hari Raya), karena itu menjadi peraturan perusahaan, mengikuti peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diadopsi di Peraturan Dewan Pers No.5 tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Perusahaan pers besar juga bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam artikel Wina Armada ditulis, tidak perlu anggota Dewan Pers yang repot-repot turun untuk verifikasi faktual karena banyak urusan lain yang lebih penting untuk dikerjakan. Tetapi sering kehadiran anggota ini penting, khususnya untuk memberi persepsi kepercayaan terhadap lembaga.
Misalnya saja ketika mengecek akte notaris suatu media, yang di dalamnya ada jumlah modal, pemegang saham, dll, yang bagi perusahaan adalah rahasia. Kalau staf sekretariat yang datang, saya tidak yakin pimpinan media yang diverifikasi mau memberikan datanya, takut bocor atau apapun namanya. Saya beberapa kali meyakinkan data itu bersifat rahasia, tidak akan bocor dan saya jaminannya. Mereka percaya. Tentu saja, data itu sampai tahapan tertentu juga bisa diakses di lembaga negara, tetapi ketika berhadapan langsung, sosok pemverifikasi menjadi urgen.
Terkait dengan pengaturan perusahaan pers ini, memang Standar Perusahaan Pers No. 3 tahun 2019 terasa lebih progresif untuk mengantisipasi beberapa hal yang tidak tercakup di Peraturan No.5/2008, hanya saja menimbulkan konsekuensi berat bagi manajemen perusahaan. Apalagi dikaitkan dengan kondisi ekonomi perusahaan pers, besar apalagi menengah dan kecil, yang kian merosot akibat turunnya pendapatan sementara biaya operasional meningkat.
Misalnya saja, kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan dan asuransi ketenagakerjaan kepada wartawan dan karyawan, di Pasal 20 Peraturan Dewan Pers No.3/2019. Di aturan lama, itu diatur secara umum, di Pasal Pasal 9 yang berbunyi “Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.”
Ini agaknya penjabaran lebih dekat dari Pasal 10 UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi, “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”
Persoalan yang kini menghangat umumnya adalah terkait verifikasi ini. Sifatnya sukarela tetapi menjadi seperti wajib bagi media, karena selain sebagai wujud profesionalisme media, juga ada kaitan ekonomis, sejumlah lembaga di pusat dan daerah, mensyaratkan status terverifikasi untuk dapat menjadi mitra kerja terkait pencitraan lembaga. Bahasa kasarnya, untuk bisa memperoleh jatah iklan.
Ada empat pemerintah provinsi yang mewajibkan status terverifikasi ini yakni Sumbar, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Riau, tetapi hanya Sumbar dan Kepri menjalankan dengan konsisten. Babel masih menunda karena banyaknya protes dari kalangan media, Riau meski sudah didukung penuh organisasi perusahaan pers konsituen Dewan Pers, informasi terakhir belum menjalankan 100%. Di kabupaten dan kota pun sudah banyak yang menerapkan, ada menjalankan dengan ketat, dan masih ada yang longgar karena berbagai alasan, seperti untuk keadilan bagi media yang sudah menjalankan sebagian peraturan Dewan Pers.
Soal verifikasi ini ramai diangkat media saat berlangsung Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin. Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menegaskan, Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah untuk mensyaratkan status terverifikasi untuk menjalin kemitraan. Saya sendiri dalam berbagai kesempatan juga menyatakan hal yang sama. Bagi saya, cukup bahwa perusahaan per situ berbadan hukum Indonesia sebagaimana ditetapkan Dewan Pers, memiliki Pemred dan Penanggungjawab bersertifikat Wartawan Utama sebagaimana diatur Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan, dan mencantumkan dengan jelas alamat redaksi sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat.
Begitu pula kalau ada kasus hukum atau masih di tingkat pengaduan ke kepolisian atas sebuah produk jurnalistik, Dewan Pers selalu menjadikan tiga hal di atas sebagai dasar untuk pembelaan terhadap media. Bukan harus terverifikasi baru dibela dan dilindungi eksistensinya. Hal ini juga disebabkan kesadaran dari sisi Dewan Pers bahwa proses verifikasi media secara administratif apalagi faktual, memerlukan proses yang lama.
Ada ratusan perusahaan pers yang antre, untuk diproses karena persyaratan yang belasan jumlahnya, banyak berkas yang harus diperiksa dan dicek atau konfirmasi, sementara sumber daya manusia yang mengurusnya terbatas untuk tidak mengatakan sedikit. Dulu staf sering saya minta agar mereka lembur untuk mempercepat proses, tetapi tetap saja kekuatan fisik dan psikis staf ada batasnya.
Keluarnya Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 yang ditetapkan 6 Januari 2023, membuat verifikasi administrasi semakin membebani media, sampai saya mengatakan ini sudah mirip dengan “Deppenisasi” yang berpotensi mematikan kemerdekaan pers, karena “membunuh” kehidupan media kelas UMKM. Kewajiban memiliki minimal 10 wartawan plus karyawan, kewajiban membayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan untuk seluruh wartawan dan karyawan, kewajiban membayar upah minimal setara UMP yang ditandai dengan bukti transfer perusahaan ke karyawan, dll membuat media dengan modal sedang atau kecil, mati berdiri.
Seharusnya Dewan Pers memberi keringanan karena kondisi ekonomi perusahaan pers yang terpuruk saat ini, tidak hanya karena perubahan perilaku konsumsi informasi masyarakat dan makin tersedotnya iklan ke media sosial, tetapi juga akibat pandemi selama dua tahun . Bukan malah membebani lagi. Apakah anggota dan staf Dewan Pers tidak pernah turun ke lapangan untuk mengetahui kehidupan ekonomi media yang seharusnya didorong untuk maju dan kini terkesan malah dipersulit?
Kembali ke awal cerita, Dewan Pers tidak pernah mewajibkan perusahaan pers untuk mendaftar karena itu bertentangan dan tidak diatur di Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya media berlomba-lomba ingin diverifikasi karena inilah jalan keluar dari pendapatan yang semakin sulit, antara lain akibat pertumbuhan media siber yang abnormal. Dan fakta bahwa pemerintah daerah dan lembaga menjadikan status terverifikasi sebagai saringan untuk memudahkan pilihan, mana yang diajak kerjasama, efisiensi, pertanggungjawaban anggaran yang akuntabel, serta keterbatasan anggaran.
Media massa profesional masih dibutuhkan negeri ini untuk mengimbangi kebisingan dan banjir informasi lancung dari media sosial sehingga semua pihak khususnya Dewan Pers amat berkepentingan memberikan ekosistem yang baik. Jangan biarkan mereka hidup segan mati tak mau di lahan gersang, khususnya media produk wartawan profesional, wartawan idealis, yang ingin menjalankan peran sebagai alat menyalurkan aspirasi masyarakat, mengedukasi masyarakat , melakukan fungsi kontrol, menjadi ajang diskusi atas masalah-masalah kebangsaan dan negara, dst.
Sebaliknya Dewan Pers harus memunculkan gagasan, melakukan diskusi-diskusi intensif, bagaimana agar pers ini mendapat nafas lebih banyak, memiliki ruang hidup yang lebih luas, dan memilah-milah mana yang lebih penting dari 7 fungsi Dewan Pers yang disebutkan di Pasal 15 UU No.40/1999 agar mendukung dan bukan malah menghalangi pelaksanaan peran pers nasional seperti dinyatakan Pasal 6 UU No.40/1999:
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Itulah cita-cita perancang UU No.40/1999 dan sungguh berdosa apabila kita lupa dan malah cenderung mengabaikannya karena asyik dengan hal remeh-temeh yang mestinya diurus belakangan. Seperti kata pujangga Jawa Ronggowarsito dalam salah satu bait di Serat Kalatida:
..//Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/luwih begja kang eling lan waspada// yang artinya..//Sudah kehendak Allah/betapapun bahagianya orang yang lupa/lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada//.
Wallahu a’lam bishawab.
oOo
Ciputat, 22 Februari 2023