beritakepri.id, TANJUNGPINANG – Hutan bakau (mangrove) yang dibabat oleh warga di Kelurahan Tanjung Unggat, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, ternyata kawasan hijau.
Hal itu diketahui setelah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) setempat melakukan pengecekan langsung di lokasi mangrove yang telah dibabat secara ilegal.
“Berdasarkan hasil pengecekan kita di lapangan bahwa wilayah yang ditebang tersebut merupakan kawasan hijau. Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2018 Tentang RTRW, aktivitas di lokasi itu tidak dibenarkan,” kata perwakilan Dinas PUPR Kota Tanjungpinang, Hendri di Kantor Kelurahan Tanjung Unggat, Selasa (6/6/2023).
Terpisah, Lurah Tanjung Unggat, Ishak, menuturkan bahwa pihaknya hanya melakukan upaya mediasi bersama Bhabinkamtibmas dan Babinsa soal polemik penebangan mangrove di kawasan RT 06/RW 02.
“Sudah selesai. Berdasarkan pemaparan dari Tim DLH dan PUPR, bahwasanya itu adalah kawasan hijau dan mangrove. Sesuai dengan Perda maka kami melarang adanya aktivitas tersebut,” katanya usai memimpin mediasi dengan pemilik lahan.
Pihak yang mengklaim memiliki lahan itu tidak mampu menunjukkan sertifikat asli. Lokasi itu juga merupakan tanah rawa.
Sementara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kota Tanjungpinang, Maman, mengungkapkan, pihaknya akan menindaklanjuti kasus penebangan liar tersebut setelah pemilik lahan berkonsultasi dengan Dinas PUPR.
“Langkah hukum selanjutnya kami menunggu Dinas PUPR. Memang berdasarkan pengecekan dari PUPR dan DLH Kota Tanjungpinang, itu kawasan hijau dan merupakan sub mangrove,” jelasnya.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Ketua RT 06, Wanda Davi. Dia berharap kasus penebangan mangrove secara liar ini tidak kembali terjadi di wilayahnya.
“Saya berharap tidak ada lagi peristiwa perusakan mangrove seperti ini. Kasus ini mudah-mudahan pertama dan terakhir. Dan saya berharap masyarakat dapat menjadikan pembelajaran untuk tidak melakukan perusakan lingkungan,” jelasnya.
Wanita yang mengaku sebagai pemilik lahan, Berliana Pakpahan, kekeh punya sertifikat. Sayangnya ia tidak mampu menunjukkan sertifikat asli atas tanah mangrove tersebut pada saat mediasi bersama Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan lurah setempat.
“Suratnya ada pak. Ini tanah mertua saya,” kata Berliana.
LSM Cerdik Pandai Muda Melayu (Cindai) Kepulauan Riau, mendorong aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan atas kasus perusakan mangrove.
“Tentunya kita berharap aparat penegak hukum mengambil tindakan tegas atas aktivitas di zona hijau tersebut. Sebab, berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2018, ada sanksi pidana bagi masyarakat yang melakukan aktivitas secara ilegal. Apalagi aktivitas di zona hijau. Otomatis merupakan tindakan kejahatan lingkungan,” kata Ketua LSM Cindai Kepri, Edi Susanto.
Sanksi pidana dalam Perda tersebut diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diancam pidana 3 hingga 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
“Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang tersebut, menyatakan setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara, ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun,” tutupnya.
Penulis : Red/Infotoday.id
Editor : Indra Gunawan