Beranda Berita Utama Serasan, Pendar Terpendam di Ujung Utara

Serasan, Pendar Terpendam di Ujung Utara

0
Karangaji, satu di antara puluhan pulau molek di Serasan. (Foto: Agus Haryanto)

Di ranah wisata tanah air, Serasan adalah nama asing. Pamornya kalah mentereng dibanding Bali, Lombok, Karimun Jawa atau Wakatobi. Tapi soal keindahan, jangan pernah menempatkannya di barisan belakang. Gugusan pulau di Kabupaten Natuna ini menyimpan deretan pulau cantik dan jajaran goa unik. Satu pantainya bahkan berjuluk pantai alami terbaik di dunia. Sepuluh hari, saya mengeksplorasi pendar terpendam di ujung Utara Indonesia itu.

“Besok pagi kita baru sampai,” seru Akang, staf Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna, membuka pembicaraan ketika saya berada di salah satu kamar di geladak KM Sabuk Nusantara. Bersama dengan beberapa rekan, kami baru saja selesai meletakkan tas, kamera dan semua barang bawaan. Siang itu, di kamar yang cuma berukuran dua kali tiga meter, kami berlima mendapat jatah berehat, di atas kapal perintis yang akan membawa kami menuju Serasan.

Telah berkali-kali menyambangi Natuna, inilah kali pertama saya diajak bepergian ke Serasan. Sebuah kecamatan di Kabupaten Natuna yang letaknya menjorok ke sisi paling Utara, Natuna. Kalau dilongok di googlemap, posisi Serasan terpisah jauh dari Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau, tapi justru lebih dekat dengan Kalimantan Barat, bahkan berada persis di atas wilayah Negara Bagian Serawak, Malaysia.

Tidak ada aktifitas apa-apa yang bisa kami lakukan di sepanjang perjalanan 12 jam mengarungi laut. Tidur, berbincang, lalu tidur lagi. Tapi menjelang sore, Akang mengajak saya beringsut menuju ke sebuah café kecil yang berada di buritan kapal. Kami tidak sendiri, Marc dan Ina, dua bule asal Jerman yang kami “temukan” sewaktu di Ranai, ibu kota Natuna, juga turut serta.
Perbincangan pun mengalir dan menjelang senja, kami dikejutkan oleh teriakan Agus, rekan fotografer yang menunjuk-nunjuk ke arah laut.

“Lumba-lumba!” Sembari berteriak, agus berlari dan sekejap kemudian sudah menenteng kamera dan mengarahkannya ke sekumpulan lumba-lumba yang tengah berloncatan di atas air. Ah, seperti tahu tengah dilihat, mereka terus melanjutkan aksinya, loncat beriringan seperti berusaha mengejar kapal. Hampir lima menit, kami nikmati pemandangan ini sampai akhirnya mereka lenyap dari pandangan. Seiring itu, senja pun menjelang dan perlahan sinarnya meredup di batas cakrawala.

Benar kata Akang, pagi menjelang, saya bersama dengan rekan-rekan tiba di Serasan. Setelah mengarungi laut lepas selama berjam-jam, KM Sabuk Nusantara akhirnya mendapat jatah rehat sejenak, sebelum akhirnya melego jangkar dan bergerak lagi meneruskan perjalanan ke Pontianak, Kalimantan Barat.

Begitu mendarat, secara berangsur kami dijemput dan diinapkan di rumah kerabat Akang. Sempat beristirahat sejenak, kami diajak menuju ke rumah Mak Biyah, pengrajin tikar serasan. Itu sesuai janji Akang, untuk melihat dari dekat para pengrajin tikar serasan memperlihatkan kreasinya, mulai dari mengambil bahan, mengolahnya sampai merangkai hingga membentuknya menjadi beraneka rupa kerajinan.

Ina dan Marc menjajal pengalaman menganyam tikar pandan. (Foto: N Shodik)

Bagi warga Kepulauan Riau, Serasan sejak dulu dikenal sebagai sentra pembuatan tikar pandan terbaik, selain Kabupaten Lingga. Pamor anyaman tikarnya bahkan sampai ke negeri jiran. Di level nasional, ada dua motif tikar Serasan yakni motif Bunga Matahari dan Rabun 13 Bunga Cengkeh yang telah dipatenkan dan berhasil menyabet penghargaan sebagai juara satu Kreasi Cipta Karya Terbaik yang ditaja Dewan Kerajinan Nasional tahun 2009.

Dan sejak beberapa tahun belakangan, pengrajin tikar Serasan telah berhasil mendiversifikasi usaha, dengan membuat varian rupa-rupa kerajinan tangan berbahan dasar tikar Serasan. Maka dari tangan-tangan terampil mereka, menjelmalah tas, gantungan kunci, taplak meja, dompet bahkan baju batik bermotif tikar Serasan.

Esok harinya, kami diajak ke Dusun Jermalik menggunakan sepeda motor, melaju di jalan semen berlebar dua meter, sebagian lagi masih berpermukaan tanah. Sampai di Desa Jermalik, Akang langsung membawa kami menuju ke Goa Jermalik yang posisinya persis menghadap laut.

“15 menit dari sini. Gak jauh,” terang Akang. Kami pun bergerak melintasi jalan setapak yang kanan kirinya dibaluti semak dan pepohonan kelapa.

Menuju ke goa Jermalik. (Foto: Edi Sutrisno)

Penuturan Akang, Goa Jermalik tidak bisa disambangi setiap saat. Untuk bisa melihatnya, harus bertolak pagi hari saat air laut tengah surut. Ketika pasang, aksesnya tertutup oleh air laut yang menggenangi permukaan pantai yang hampir seluruhnya berpermukaan batu coklat kehitam-hitaman. Goa-goa itu memang tersembunyi di sisi selatan pantai, di balik bukit berbatu.

Karena tidak ada jalur khusus, satu-satunya cara menggapai kawasan goa adalah melintasi bebatuan yang berada di sisi depan pantai. Menapaki jalur berbatu, meloncat dari sisi satu ke lainnya. Tidak lebih dari lima menit, kami temukan tebing berbatu yang posisinya memanjang dan cukup terjal. Ini rupanya barisan awal goa Jermalik itu berada. Oleh warga setempat, goa itu dinamai goa kambing. Konon, goa ini jadi tempat para penggembala kambing untuk menyembunyikan sekaligus mengistirahatkan hewan piaraan mereka setelah seharian lelah merumput.

Fasad depan goa kambing. (Foto: Agus Haryanto)

Posisinya berada dua hingga tiga meter dari permukaan air laut. Terdapat tiga rongga besar yang menjorok ke arah dalam, menyisakan permukaan mendatar yang lumayan luas. Masing-masing cukup memuat sepuluh hingga belasan orang.

Tepat di samping goa kambing, terdapat goa lain yang posisinya agak tersembunyi. Untuk mencapainya, kami harus memanjat permukaan tebing. Sampai di atas, barulah terlihat fasad goa yang seluruh dindingnya dirambati oleh tanaman rumput berwarga hijau terang. Persis di depan mulut goa, terbujur sebuah batu melintang yang bentuknya seperti titian atau jembatan. Batu inilah yang menuntun kami sampai ke mulut goa.

Karena memiliki titian batu itu pula, warga sekitar menyebut goa ini dengan sebutan goa “gertak”. Dalam bahasa setempat, “gertak” bermakna titian atau jembatan. Dulu, goa ini dikenal sebagai habitat alami burung walet. Namun sejak beberapa tahun belakangan, oleh beberapa sebab, tak menyisakan satu ekor pun burung walet yang menjadikan goa ini sebagai rumah berlindung.

Berhampiran dengan goa gertak terdapat goa lain yang dinamai penduduk lokal sebagai goa walet. Di antara barisan goa di pantai ini, goa walet adalah yang terbesar dan pastinya, hingga kini jadi rumah bagi ribuan ekor burung walet, termasuk kawanan kelelawar.

Mulut goa gertak. (Foto: Agus Haryanto)

Memiliki rongga besar dan bertinggi tidak kurang dari 20 meter, goa walet berada persis di tepian pantai. Saat pasang, air laut masuk hingga menyentuh area dalam goa yang berposisi di bagian bawah dan membentuk laiknya sungai kecil. Dinding-dindingnya berwarna hitam kecoklatan dan terlihat gelap sebab tak pernah ditembusi cahaya matahari.

Warga sekitar, melintangi tengah-tengah goa dengan batang bambu yang difungsikan sebagi jembatan untuk memudahkan mereka beraktifitas dari satu titik ke titik lainnya. Goa ini sejak dulu jadi lokasi pengembangbiakan burung walet. Meski kini hasil panenan mereka terus tergerus, tidak semelimpah dulu.

Hamparan laut lepas dibidik dari mulut goa walet. (Foto: Agus Haryanto)

Bersebelahan dengan goa walet, terdapat goa hidung. Entah mengapa warga menamai demikian. Barangkali saja karena mulut goanya yang berbentuk menyerupai hidung manusia. Dulu, goa ini juga jadi tempat bersarang burung walet, tapi kini tidak lagi.

Beberapa depa darinya, bertenger goa yang memiliki nama seram, goa mesjid hantu. Goa ini sejatinya tidak memiliki rongga laiknya goa lain di kawasan ini. Yang ada hanyalah bentangan batu warna kuning kecoklatan. Bentuknya menyerupai kubah mesjid dan tersebar di tiga titik. Dulu, tidak ada warga yang berani menapakinya. Sebab ada mitos yang menyebut bahwa siapa pun yang menjejakinya bakal beroleh malapetaka.

Goa hidung. (Foto: Agus Haryanto)

Uniknya lagi, di tempat ini terdapat sebuah tapak kaki yang tercetak di atas permukaan batu. Konon, mengikut pada legenda setempat, tapak yang senantiasa digenangi air ini merupakan tapak hantu. Tapak tersebut bisa pas di kaki manusia meski yang menapakinya anak-anak. Sama halnya dengan goa mesjid hantu, dulu, warga tak berani memasukkan kaki di cetakan telapak itu karena yang melakukannya bisa mendapatkan bala.

Begitulah legenda yang melingkupi barisan goa di Desa Jermalik. Boleh percaya boleh tidak. Tapi satu yang pasti, kalau menjejakinya, Anda bakal dibuat terkagum-kagum oleh lanskapnya yang unik dan dikepung perairan berair jernih. Di sisi Utara, dijajari pepohonan nyiur dan sebuah bukit hijau yang dinamai warga Gunung Kute. Di hadapannya, berjajar Pulau Panjang dan Pulau Kerdau yang masuk dalam kawasan Kecamatan Subi.

Keesokan hari, penjelajahan kami berlanjut ke Pulau Karangaji yang berjarak sekitar dua mil dari Pelabuhan Serasan. Menggunakan pompong sewaan, kami bertolak ke pulau yang oleh orang tempatan dianggap sebagai yang tercantik di Serasan. Apa yang dikatakan penduduk setempat tidak berlebihan kiranya. Ketika menjelang sampai di Karangaji, yang terbetik di dalam hati saya adalah: mungil dan cantik.

Berada di antara gugusan pulau kecil di perairan Serasan, Karangaji elok dipandang dari sudut mana pun. Seluruh tepi daratannya dibentangi oleh deretan pantai berpasir putih dan dikepung oleh perairan bening bak kristal.

Dari kejauhan, pulau yang hanya berluas dua hektar ini terlihat mencolok. Kontras dengan pulau-pulau di sekitarannya. Satu yang jadi pembeda adalah keberadaan pasirnya yang memenuhi tepi pantai. Butirannya terlihat berkilau ketika diterpa matahari. Pepohonan kelapa yang tumbuh lebat dan memayungi hampir seluruh permukaan pulau jadi penyempurna.

Snorkeling menjadi ritual lazim yang dilakukan orang di Pulau Karangaji.(Foto: Agus Haryanto)

Magnet Pulau Karangaji tak sampai di situ. Perairan di sekitarnya yang bening adalah pesona lain. Siapa pun yang menjejak ke sana, pasti tergoda untuk segera menceburkan diri ke air. Apalagi, dasar lautnya ditaburi pasir putih yang tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk endapan lumpur. Benar-benar jernih. Kami pun, tanpa dikomandoi langsung berloncatan. Sebagian, langsung ber-snorkeling. Sebagian lagi menyiapkan tabung untuk menyelam.

Warga sekitar, menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi berlibur favorit. Pun demikian bagi para pengunjung dari luar Serasan. Orang dianggap belum ke Serasan kalau belum mengunjunginya. Biasanya, kalau bepergian ke sana, pengunjung bertolak dari pagi dan baru pulang sore harinya sehingga punya waktu banyak untuk bersantai dan menikmati keindahan Karangaji.

Selain berenang, aktifitas yang biasa dilakukan pengunjung adalah memancing di tepian pantai. Bahkan beberapa di antaranya, menjala. Hasilnya, kalau lagi beruntung adalah rupa-rupa ikan karang yang rata-rata seukuran telapak tangan. Sesudahnya, tinggal dipanggang. Menyantap ikan bakar segar di pulau cantik yang dikepung perairan jernih, tentu membiaskan kenikmatan tersendiri.

Saya sendiri bersama Marc dan Ina memilih ber-snorkeling dan memulainya dari titik di batas pantai hingga ke arah laut. Airnya sangat bening sehingga memudahkan kami menjelajahi barisan terumbu karang yang dikerumuni ikan warna-warni. Sesudahnya, saya tinggalkan dua bule itu dan bergegas menyambar kamera dan membidikannya ke sudut-sudut cantik Karangaji.

Bagi penghobi fotografi, Karangaji tentu menawarkan lansekap menggoda. Dijepret dari sudut mana pun, pulau ini terlihat eksotis. Di sisi Timur, paras pulau yang dijajari pepohonan kelapa, yang sebagian batangnya melengkung ke arah laut dan beberapa di antaranya tumbang ke permukaan pasir, bakal jadi “frame” yang memukau. Pun demikian dengan belahan baratnya. Kalau menjepretnya ketika pagi, pulau ini bak putri yang tengah tersenyum, cantik merona bermandikan cahaya matahari.

Mau yang lebih dramatis, bisa bergeser ke sisi utara, tepatnya di bagian ujung pulau. Di titik inilah, kami temukan satu dua bekas tapak-tapak kaki penyu yang tercetak di bentangan pasir. Pada periode tertentu, jejak-jejaknya lebih banyak, terutama ketika musim penyu bertelur tiba. Penuturan orang lokal, karena tepian pantainya dikelilingi hamparan pasir yang luas, Karangaji jadi salah satu “arena” terbaik bagi penyu bertelur di Serasan, selain Pantai Sisi dan beberapa pulau kecil lainnya.

Bagi penyuka tantangan yang lebih ekstrim tentu tak puas kalau hanya melihat jejak-jejaknya. Namun untuk bisa melihat secara “live” penyu liar yang tengah naik ke permukaan pasir, wajib bermalam di pulau. Satu lagi butuh kesabaran ekstra karena harus menunggu hingga berjam-jam. Tapi semua itu bakal terbalas. Sebab melihat langsung momen penyu mulai naik ke permukaan pasir, bertelur hingga kembali ke laut.

Pada dua hari terakhir di Serasan, kami diajak mengunjungi Pantai Sisi, pantai molek yang di tahun 2016 pernah dilabeli Majalah “Island” sebagai the World Best Undiscovered Beach. Tapi meski menyandang sebagai yang terbaik sejagad, di mata penduduk setempat, Pantai Sisi tak ubahnya pantai-pantai lain di gugusan Pulau Serasan. Tak ada rasa jemawa bahkan banyak di antara mereka yang malah tak mengetahuinya sama sekali.

Bercengkerama di bening air Pantai Sisi.(Foto: Edi Sutrisno)

Pantai Sisi membentang panjang hingga tujuh kilometer. Pasirnya putih bersih. Berbulir halus bak tepung. Dari garis tepian pantai hingga sisi laut ketika pasang, bentangannya rata-rata berluas tidak kurang dari lima puluh meter. Uniknya, kalau ditapaki, pasir Sisi mengeluarkan bunyi berderit-derit…”srit-srit,” laiknya orang tengah berbisik.

Lantaran “mampu” berbisik, banyak yang merindui pantai ini kalau sudah menjejakinya. Dibanding pantai-pantai termasyur laiknya Kuta, Patong, Cenang atau White Beach yang amat touristy, Pantai Sisi berbanding 190 derajat sebab amat jarang dijamahi. Selain penduduk lokal, hanya ada segelintir bule yang berhasil menapakinya. Termasuk Mark dan istri.

Kelebihan Sisi tak sampai di situ. Air di pantainya amat jernih. Saat matahari tengah terik-teriknya, airnya yang berkejaran menuju pantai terlihat berkilau-kilau bak butiran kristal. Merangsang orang untuk segera loncat, mandi, berenang atau sekedar berendam merasakan kesegarannya.

Jalan-jalan di sepanjang tepian pantainya atau leyeh-leyeh di gubuk-gubuk kayu beratapkan daun kelapa sembari memandangi airnya yang bergradasi biru dan hijau turkois, juga jadi aktifitas yang tak kalah mengasyikkan. Aktifitas lain? Memancing, berkanu atau berfoto-ria. Apalagi, kalau Anda suka selfi, berfoto sembari narsis dengan latar pantai alami terindah sejagad, tentu membuncahkan kebanggaan tersendiri.

Lalu, kapan waktu terbaik mengunjungi Sisi? Pas laut tengah teduh-teduhnya yakni di sekitaran bulan Mei hingga September. Anda, tidak direkomendasikan bertandang saat musim Utara. Di periode itu, gelombang air di Pantai Sisi bisa mencapai hingga lima meter. Ketika pasang, suara gemuruh ombaknya yang menghantan daratan tembus hingga ke perkampungan warga.

Pesona Pantai Sisi tak habis di butiran pasirnya yang halus bak tepung, airnya yang berkilau dan lansekapnya yang aduhai. Di Kepulauan Riau, Pantai Sisi jadi satu dari sedikit bentangan pantai yang jadi lokasi favorit penyu hijau (chelonia mydas) bertelur. Namun, aktifitas ini tidak bisa Anda lakukan setiap waktu sebab, penyu hanya akan naik ke permukaan pasir pada waktu-waktu tertentu. Pastinya di malam hari, saat air laut tengah pasang-pasangnya.

Seekor penyu merangkak kembali ke laut setelah bertelur dan memendam telur-telurnya di bentangan pasir Pantai Sisi. (Foto. N. Shodik)

Pantai Sisi memiliki siklus pasang-surut yang ajeg. Ketika matahari mulai terbenam, ketika itu pula air laut berlomba-lomba membasahi tepian pantai. Puncaknya sekitar pukul delapan hingga sembilan. Nah, di momen-momen inilah, dipandu seorang penangkar penyu lokal, Anda bisa melihat secara “live” penyu bertelur.

Biasanya, sang pemandu akan menjelajahi tepian pantai terlebih dulu dengan cara mengendap-endap, mengintip penyu yang hendak naik ke permukaan. Kalau sudah menemukan satu atau dua penyu merangkak naik, barulah ia akan mengontak Anda untuk menyusulnya. Penyu, seperti jamak diketahui, butuh kesunyian yang sempurna untuk bertelur. Insting penciuman dan penglihatannya yang tajam selalu digunakannya untuk memastikan kondisi sekitar aman, baik dari para predator, termasuk juga manusia. Pantang melihat cahaya atau api, termasuk kegaduhan.

Kalau sudah menggali lubang dengan kaki-kakinya yang juga difungsikan sebagai sirip, mereka langsung bertelur. Inilah waktu pas untuk “menjebak” sang penyu. Dalam posisi seperti itu, Anda bisa leluasa mendatanginya, melihat penyu yang tengah berjuang mengeluarkan telur dari perutnya, satu per satu. Sekali mendekam di satu lubang, setidaknya penyu mampu mengeluarkan hingga 120 butir telur. Bahkan kadang lebih, sekali waktu kurang darinya.

Di Pantai Sisi, pada bulan-bulan biasa, Februari hingga Mei, paling tidak ada tiga hingga empat penyu yang muncul ke permukaan untuk bertelur. Namun, di kala musim bertelur tiba, Mei hingga September, jumlahnya berlipat-lipat hingga belasan ekor. Dulu, ceritanya bahkan lebih seru, puluhan ekor penyu bisa serentak bertelur di sepanjang garis pantai. Kini, seiring dengan makin berkurangnya habitat penyu di perairan Serasan, penyu yang menyinggahi Pantai Sisi menurun signifikan.

Beruntung masih ada beberapa gelintir orang di Serasan yang peduli dengan keberadaan binatang berkategori langka ini. Salah satunya adalah keluarga Usmandi. Hampir satu dasawarsa lebih, keluarga ini membuat penangkaran penyu di Pantai Sisi. Entah sudah berapa puluh ribu butir telur penyu yang sudah mereka kembangbiakkan menjadi tukik (anak penyu) lalu dilepaskan kembali ke habitat aslinya.

Kalau menjejak Pantai Sisi, Anda dipastikan menjumpai para pejuang lingkungan itu di rumah mereka di pinggir pantai. Sebuah rumah kayu beratapkan daun kelapa yang difungsikan sekaligus sebagai kedai. Tak jauh darinya, terdapat sebuah tempat penangkaran penyu yang selama ini dijadikan sebagai pusat pengembangbiakkan telur penyu dari mula telur hingga menjadi tukik. Dari mereka, Anda bisa meminta tukik-tukik untuk dilepaskan ke laut. Hal itu juga yang kami lakukan di hari terakhir menjejaki Serasan.

Melebur bersama penduduk tempatan, melepas tukik ke laut.(Foto: Agus Haryanto)

Bersama Marc, Ina dan Akang dan sejumlah tetua kampung, kami melepas tukik disaksikan kerumunan warga yang berkumpul di pinggir Pantai Sisi. Banyaknya warga yang tumpah ruah tentu menambah kebahagiaan kami. Sebelum melepas tukik, kami telah pula disuguhi rupa-rupa tari khas lokal yang dibawakan pemuda dan pemudi tempatan. Jadilah siang itu “pesta pantai” dadakan yang sempurna.

Berbagi keceriaan, menari bersama warga lokal.(Foto: N. Shodik)

Sama halnya mengintip penyu bertelur, melepas tukik ke laut juga menjanjikan momen mendebarkan. Menyaksikan kaki-kaki kecil nan lincah mereka yang tergesa-gesa menuju ke laut adalah pemandangan membahagiakan sekaligus mengharukan. Jamak diketahui, para ilmuan memastikan, dari seribu tukik yang meluncur ke laut, hanya satu di antaranya yang bertahan hidup dan kembali merangkak ke permukaan, di tempat yang sama, sebagaimana induknya waktu bertelur dulu. Sementara 999 lainnya, harus meregang nyawa disasar predator. Begitulah siklus hidup penyu.

Anda, kalau sudah berada di Pantai Sisi, bakal jadi segelintir orang yang beruntung, bisa menyaksikan secuil episode perjalanan hidup salah satu spesies binatang purba yang masih lestari di muka bumi.

Tepat di hari kesepuluh, pagi-pagi sekali kami bergerak menuju Pelabuhan Rakyat Serasan. Sebuah kapal berukuran sedang telah menunggu kami. Meski berdiri kokoh, pelabuhan beton ini saat surut ternyata tak bisa disinggahi kapal besar. Alhasil, kami harus disambungkan dengan kapal lain yang berfungsi sebagai feeder untuk mengantarkan kami ke KM Bukit Raya yang lego jangkar sekitar satu mil dari pelabuhan.

“Seperti yang saya bilang, kita menuju ke Pontianak. Lepas itu baru ke Batam. Kita gak balik Ranai (Natuna) karena tidak ada kapal ke sana. Adanya dua hari lagi, itu pun naik kapal barang,” terang Akang. Pria bernama asli Hendriyanto ini lalu, seperti juga di hari-hari sebelumnya, kembali meracau tentang betapa sulitnya mengakses Serasan.

“Tempat ini surga, tapi butuh sentuhan. Kalau kami sendiri tidak mungkin, anggaran sangat terbatas,” timpalnya lagi. Kami yang sepuluh hari kerap mendengar keluhan itu hanya bisa manggut-manggut mengiyakan. Saya sendiri dalam hati tak berhenti berpikir, apa yang dikeluhkan Akang adalah fakta. Serasan kini tak ubahnya mutiara yang kilaunya terbentur dinding goa. Tapi saya yakin, kelak, ketika waktunya tiba, pendar Serasan bakal mengkilap sejajar dengan Derawan, Kepulauan Seribu atau bahkan Raja Ampat.

Menuju Serasan:

Serasan terdiri atas 34 pulau dan secara administratif berada dalam naungan Kabupaten Natuna. Posisinya membentang persis di ujung Utara Indonesia. Kanan dan kiri perairannya dikepung oleh Laut Cina Selatan. Menuju ke sana, butuh perjuangan ekstra. Fisik prima, perencanaan matang, keleluasaan waktu dan dana yang cukup adalah keharusan. Ada dua opsi, naik kapal laut atau pesawat. Naik pesawat, Anda bisa langsung dari Bandara Hang Nadim (Batam) atau Bandara Raja Haji Fisabilillah (Tanjungpinang) ke Bandara Ranai, Natuna. Setelahnya, perjalanan diteruskan mengggunakan kapal, memakan waktu 11 hingga 12 jam.

Senja di tepian Pantai Sisi. (Foto: Edi Sutrisno)

Kalau semuanya diterabas mengggunakan kapal laut, waktunya bisa lebih lama. Tanjungpinang-Selatlampa (Natuna) bisa memakan waktu dua hari dua malam, sementara Selatlampa-Serasan, 12 jam. Melelahkan namun lebih hemat dari sisi budget. Perlu diketahui, naik pesawat sekali jalan Batam/Tanjungpinang-Natuna, terendah adalah Rp1,2juta. Itu pun, Anda belum tentu bisa terbang sebab harus berebut tiket dengan calon penumpang lain yang biasa bolak-balik Tanjungpinang/Batam-Natuna. Jadi, cara terbaik, pesan tiket jauh-jauh hari. (Edi Sutrisno).

Artikel ini sudah pernah ditayangkan di www.beritakepri.com dan meraih juara tiga dalam ajang lomba menulis bertema Wisata Bahari. Anugerah Pewarta Wisata Indonesia 2016, yang ditaja Kementerian Pariwisata RI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here