Beranda Kolom Opini Ghairah Dunia Dalam Gurindam Melayu Baru

Ghairah Dunia Dalam Gurindam Melayu Baru

0
Rida K Liamsi

Oleh : Rida k Liamsi

Tahun 2019, tema seminar yang diusung dalam Festival Sastera Internasional Gunung Bintan ( FSIGB) 2019 adalah : Pantun Sebagai Akar Puisi Moderen. Yang pertama memantik kata kata itu adalah penyair, Hasan Aspahani , melalui salah satu essai nya yang dimuat di halaman Jembia , halaman sastera dan budaya harian Tanjungpinangpos, yang terbit di Tanjungpinang, Kepri.

Saya mendukung tema itu, karena kebetulan pada FSIGB 2018 lalu , saya bertemu dengan SN Prof Muhammad Haji Salleh ( MHS ), seorang sasterawan Malaysia yang selalu saya juluki pakar Hang Tuah, karena dia telah menerjemahkan Hikayat Hang Tuah dari bahasa Melayu , ke bahasa inggeris. Sehingga karya klassik itu kini menjadi milik dunia dan dibaca oleh para peminat yang berbahasa asing, khususnya Inggeris.

Prof MHS ikut Festival Gunung Bintan 2018 itu sebagai salah satu pembicara yang membahas tentang jejak Hang Tuah dalam puisi. Dan dia pun ikut menulis beberapa puisi yg bertema Hang Tuah dan dimuat dalam antologi puisi Jazirah yg diterbitkan panitia festival .

Prof HMS ini memberi saya buku karyanya yang judulnya sangat menarik : Ghairah Dunia Dalam Empat Baris ( Sihir Pantun dan Estetikanya ). Buku yang merupakan kumpulan makalah Prof MHS dan memdedahkan soal pantun dari segala sisi , terutama bagaimana pantun itu menjadi begitu identik dengan orang Melayu , padahal pada etnis lainpun di indonesia , pantun itu sudah di kenal. Hanya namanya berbeda. Di Jawa misalnya disebut Parikan. Lalu mengapa para pakar sastera di Prancis juga sangat menyukai pantun dan menerjemahkan karya melayu klassik itu ke dalam bahasa Prancis ?

MHS mengutip pendapat seorang peneliti asing , yang mengatakan , bahwa sesungguhnya, kita belumlah bisa memahami orang melayu , sepanjang kita belum memahami pantun pantun melayu.

Esai Hasan Aspahani dan buku MHS itu menjadi sumber pendorong bagi saya dan teman teman di Yayasan Jembia Emas, penaja event sastera itu, untuk menjadikannya tema seminar dan memberi sebuah pemahaman yang lebih kuat relevansinya dengan antologi puisi ( 2 ) yg tahun ini memilih cogan : segara sakti , rantau bertuah ( jazirah Melayu dalam puisi ). Dalam seminar itu , Hasan Aspahani yang biasa dipanggil HAH itu jadi salah satu pembicara, disamping dua pembicara lain dari Jakarta ( Prof Abdul Hadi WM dan Dr Mu’jizah ) dua dari Malaysia ( Dr Muhd Salleh Rahamad dan Prof Madya Haryatie Abd Rahman ) , dan Prof Madya Abdul Malik dari kepulauan Riau sendiri.

Prof MHS ini salah satu dari 14 sasterawan negara Malaysia Yang diberi gelar Kehormatan : Sasterwan Negara ( SN ) bersama Usman Awang , Samad Said, dll dan terakhir Sitti Zainon Ismail .

MHS katanya ketika itu sedang menerjemahkan Salalatus Salatin ( sejarah melayu karya Tun Seri Lanang ) dari bahasa melayu ke bahasa Inggeris,agar Karya klassik itu jadi milik dunia . Komitmen MHS untuk membawa karya sastera melayu ke tengah dunia itu, patutlah diapresiasi dan dihormati serta dibanggakan.

Sosok MHS pun memang sangat familiar dan dihormati di Malaysia dan juga di Indonesia, sering diundang jadi pembicara seminar dan pertemuan sastera dan kebudayaan, dan kononnya dia ini keturunan perantau Indonesia yang datang ke negeri Semenanjung puluhan tahun lalu . MHS ini bagi rumpun Melayu dianggsp sebagai salah satu tokoh Melayu Baru.

Untuk menunjukkan ciri ciri Melayu Baru itu, saya menulis sebuah gurindam yang saya sarikan dari pidato kebudayaan Mahatir Muhammad , 30 tahun lalu , dalam Pertemuan Dunia Melayu di Melaka, dan diulanginya lagi belum lama ini dalam pertemuan “ Membangkitkan kembali martabat bangsa melayu “ di Kuala Lumpur. Ini gurindamnya :
Apa tanda Melayu baru
Lebih baik mengamuk daripada merajuk

Apa tanda Melayu baru
Pantang kalah meski selangkah

Apa tanda Melayu baru,
Pantang mencaci sesama sendiri

Apa tanda Melayu baru
Menuntut ilmu adalah ibadah

Apa tanda Melayu baru
Dahulukan tuah daripada daulah

Apa tanda Melayu baru
Sematkan di hati pesan Hang Tuah

Apa tanda Melayu baru
Mulailah hari ini, dengan bismillah

Melayu baru ini adalah generasi baru Melayu yang darah dan kulturnya sudah bercampur baur dengan etnis dan budaya lain . Terutama Bugis, Jawa dan India dan ada juga dengan Eropa dan Cina. Generasi Melayu baru ini, Melayu abad XX, masih tetap menjungjung tinggi adat resam Melayu, masih sebahagian besar beragama Islam, tapi tidak semua lagi lahir dan dibesarkan di rantau Melayu. Mereka lahir dan dibesarkan di belahan dunia lain, tetapi tetap merasa sebagai orang Melayu. Mereka bahagian dari generasi milenial, generasi X maupun y atau Z. Generasi yang diformulasi oleh Dr Mukhlis PaEni, pakar sejarah Melayu Bugis sebagai percampuran antara Kecerdasan Melayu, Heroisme Bugis, dan kearifan bangsa maritim , bancuhan antara orang laut, orang bajau, dan suku bangsa lain yang sudah meleburkan dirinya ke dalam kemelayuan. Melayu baru yang siap dan sesuai dengan kehendak dan tantangan zaman. Meskipun ini hanya sebuah gurindam dan adalah karya sastera , tetapi begitulah cara dunia Melayu merefleksi kondisi semasa sebagai saksi sejarah perjuangan sebuah bangsa.

2019 /2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here