Oleh: Dato’ Sri Perdana Yoan S Nugraha
(Sekretaris Bidang Penelitian, Pengkajian dan Penulisan Adat Budaya Melayu – Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau – Kota Tanjungpinang)
Saya awali dengan cerita tentang pasar ikan dan pemuda yang sedang sakit gigi. Syahdan, ada seorang pemuda yang mengalami sakit gigi mendadak menyerang dirinya ketika sedang berkendara, sambil menambah kencang kelajuan kendarannya untuk pulang, pemuda tersebut melihat satu kawasan yang ramai pengunjung, keluar-masuk silih berganti ke sebuah gedung dengan tulisan besar “PASAR IKAN”. Karena ramai dikunjungi, pemuda ini yakin jika di dalam gedung itu akan menemukan solusi atas keluhannya.
Sudah tahu bukan, apa yang terjadi kepada pemuda ini? Bukannya bisa tenang, justru semakin emosi ditambah lagi sakit gigi plus menuju ke sakit hati. Sama sekali tidak ada layanan dokter gigi dalam gedung itu, hanya ikan yang berjibun jumlah dan jenisnya, bertumpuk dari satu meja ke meja lainnya. Sumpah, sakit gigi itu semakin parah, dan pemuda merasa dirinya di ejek oleh selaksa ikan mati dengan seringai gigi kecilnya yang tampak masih rapi meski kondisi nyawanya sudah mati.
Suasana riuh dalam gedung “PASAR IKAN” itu bagi si pemuda hanyalah Sound Horeg yang tidak hanya memekakkan namun bikin giginya semakin cenat-cenut. Si pemuda kembali berkendara dengan membawa emosi berkantong-kantong.
Dalam konteks yang mengangkat nama Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, status Museum Kota Tanjungpinang sudah berdandan cukup segak, namun ketidakberdayaan menyajikan ruang tata pamer untuk sosok agung tersebut bisa menjadi Sound Horeg bagi para pengunjung.
Sepintas, Museum Tanjungpinang tidak mengangkangi pendapat yang diungkapkan Smith (2016), “Museum seharusnya menjadi ruang inklusif yang merefleksikan keberagaman narasi sejarah.” Sejauh ini masih belum terasa Sound Horegnya, namun ketika menelisik lebih teliti, Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Horegnya mengenyampingkan sosok Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah itu sendiri. Hal ini jelas mampu mereduksi sejarah menjadi narasi tunggal, yang menurut Roland Barthes (1977), “segala bentuk sejarah adalah sebuah narasi, dan narasi yang diutamakan adalah narasi yang berkuasa.” Kemana terselipnya ruang tata pamer Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah itu? Bukankah dia yang paling berkuasa, karena namanya sengaja dirangkai pada wajah museum Kota Tanjungpinang bukan?
Kita lakukan perbandingan sederhana, beberapa waktu lalu Museum Tanjungpinang merayakan kehadiran ruang tata pamer sosok Oei Tik Sing, seorang anak kapitan Tionghoa yang lahir pada periode 1816 dan diangkat oleh Engku Puteri Raja Hamidah, seorang tokoh Melayu yang berpengaruh. Tentang Oei Tik Sing ini juga sempat dialih mediakan menjadi sajian tarian-dramatikal yang atraktif. Tidak ada yang salah dengan Oei Tik Sing, beserta para pelaku seni, pemikir, maupun mereka-mera yang bertungkus lumus melegitimasikannya kembali, karena sejalan dengan ungkapan Derrida (1997), “Apa yang tidak diungkapkan dalam narasi adalah sama pentingnya dengan apa yang ditampilkan.”
Namun sekali lagi, agar Museum Tanjungpinang tidak menjadi Sound Horeg, maka alangkah syahdunya jika penempatan prioritas dalam tata pameran perlu dipertimbangkan ulang, agar mampu merefleksikan keagungan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah yang namanya kadung dirajut menjadi nama museum Kota Tanjungpinang. Jika tidak maka Sound Horeg musem akan menjadi semakin Horeg lagi sebagaimana yang diungkapkan oleh Susan Sontag, “Penghapusan sebagian kebenaran merupakan bentuk yang paling kejam dari manipulasi informasi.”
Halo… sudah hampir 16 tahun museum Kota Tanjungpinang ini berdiri jika dihitung dari tanggal peresmian 31 Januari 2009 silam. Secara takdir, memang museum menjadi medium untuk mengedukasi masyarakat tentang semua tokoh yang berkontribusi terhadap sejarah, termasuk Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Ini demi tegaknya kepentingan dan pengakuan terhadap warisan budaya yang lebih holistik. Karena menurut Edward (1978), “setiap representasi tidak pernah netral—ia selalu terhubung dengan kekuasaan dan dominasi,” sehingga museum perlu memastikan bahwa representasi mereka tidak bersifat bias. Cari ikan ya di pasar ikan, mustahil penjual ikan menggelar dagangannya pada etalase toko elektronik.
Sempena perayaan hari Museum tanggal 12 Oktober, sebagaimana hasil musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) pertama yang diadakan di Yogyakarta pada 12-14 Oktober 1962. Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah harus lebih seksi berdandan, serta memoles gincu dengan tepat, tenang saja, karena menurut Thomas A. Edison, “Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil.” Kutipan ini menekankan bahwa kritik yang konstruktif dapat membantu untuk memahami kelemahan dan mengembangkan kekuatan, karena Nietzsche pernah berkata, “Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat.” Kritik yang diterima dengan baik adalah sarana untuk memperkuat fondasi yang lebih kokoh dalam mewujudkan misi museum agar tidak menjadi Sound Horeg.***