Oleh: Aat Surya Safaat
Para jurnalis (wartawan) pada hakikatnya mengemban amanah yang sangat berat tapi mulia. Kenapa? Tidak lain karena mereka sejatinya mewarisi apa yang disebut “tugas kenabian”.
Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 56).
Bunyi surat Al-Kahfi itu bersesuaian dengan fungsi pers yang diakui di seluruh dunia, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur dan menjadi alat kontrol sosial (masyarakat).
Ketiga fungsi pertama sebagaimana disebutkan di atas sama artinya dengan menyampaikan kabar gembira, sedangkan fungsi keempat sama dengan memberi peringatan kepada publik (masyarakat).
Terinspirasi oleh ayat suci itu, setelah lebih dari 40 tahun berprofesi sebagai wartawan, mantan Pemimpin Umum LKBN ANTARA yang juga pernah menjadi Dirut RRI Pardi Hadi terdorong untuk menulis buku berjudul “Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian.”
Nabi dalam bahasa Inggris adalah “prophet”. Dengan alasan itu, ‘genre’ jurnalisme yang diusung Pardi Hadi disebut juga “Prophetic Journalism” (Jurnalisme Profetik atau Jurnalisme Kenabian).
Jurnalisme profetik mengacu pada Al-Quran, Hadits dan akhlak mulia Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bisa disingkat STAF, yakni Shidiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah.
Shidiq berarti mengungkapkan sesuatu berdasarkan kebenaran, tabligh berarti menyampaikan kepada orang lain dengan cara mendidik, amanah berarti dapat dipercaya atau akuntabel, dan fathonah berarti penuh kearifan (cerdas).
Jadi, misi jurnalisme kenabian sejatinya adalah mengajak orang untuk berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan, atau dalam Islam disebut “amar ma’ruf nahi munkar”.
Terkait dengan dunia jurnalistik itu sendiri, saat melaksanakan tugas sehari-hari, para wartawan harus berhati-hati dalam menerima dan mengolah bahan berita agar berita yang ditulisnya layak siar dan bermanfaat untuk masyarakat.
Dasarnya ada dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu kabar, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [Al Hujurat: 6].
Karena sumber dan acuan utamanya adalah Kitab Suci dan akhlak Rasulullah, dalam praktiknya wartawan profetik melibatkan sisi spiritualitas, di samping akal dan upaya-upaya lahiriah.
Dengan kata lain, wartawan profetik saat bertugas mengemban misi memberi informasi (informing), mendidik (educating), menghibur (entertaining), memberi advokasi (advocating), mencerahkan (enlightening), menginsiprasi (inspiring), dan memberdayakan (empowering).
Kemudian, meski mengajarkan “welas asih” (compassion) kepada sesama makhluk, jurnalis profetik tetap harus kritis, tegas, dan berupaya keras turut memberantas kejahatan, termasuk tindakan korupsi yang masih sering terjadi sampai saat ini.
Justru karena menyandang “tugas kenabian”, maka para wartawan dan media massa profetik harus lebih berani melakukan “investigative reporting” atau laporan investigasi untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Mengikuti perkembangan zaman
Ketika internet ditemukan dan koran elektronik baru diperkenalkan di Amerika awal tahun 1990-an, kebanyakan orang kemudian mendapatkan informasi dari layar komputer atau dari telpon seluler ketimbang dari lembaran kertas koran.
Bagi media massa Islam, perkembangan teknologi informasi seperti itu sejatinya merupakan peluang, karena pers Islam pun pada dasarnya juga bergerak pada bisnis penyediaan jasa informasi dengan mengkonstruksi realita sosial dan membingkainya sesuai kebijakan internal dalam nuansa jurnalisme kenabian.
Oleh karena itu, jika sekarang disebut abad informasi, maka perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang informasi, termasuk pers Islam mestinya juga bisa terus hidup dan makin berkembang, apalagi pangsa pasarnya relatif luas.
Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya kunci sukses bagi media massa Islam dan jurnalis muslim adalah kesiapannya untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan teknologi informasi.
Media massa di negara mana pun yang selalu siaga dengan berbagai kemungkinan telah terbukti, bukan saja tetap ‘survive’, melainkan juga hidup makmur dan berpengaruh.
Di sinilah tantangannya. Jurnalis muslim perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi agar kehadirannya tetap bermanfaat bagi masyarakat, bahkan makin diperlukan bangsa dan negara di masa mendatang.
Tentu saja aspek penting lainnya yang harus dikuasai seorang jurnalis profetik, baik yang bekerja di media cetak maupun online atau radio dan televisi adalah berfikir secara jernih serta berkomunikasi melalui lisan atau tulisan secara efektif dan bermanfaat bagi banyak orang.
Sekolah Jurnalistik Plus
Menyiasati perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, sekolah-sekolah jurnalistik saat ini pada umumnya berkonsentrasi pada pendidikan dan keterampilan kewartawanan berbasis digital.
Namun sekolah jurnalistik yang satu ini berbeda, karena juga mengajarkan siswanya untuk bisa membaca dan menghafal Al-Qur’an. Sekolah ini menjadi kian penting karena keberadaannya seperti oase di pusat hiburan, di tengah kota Cilegon yang merupakan salah satu kota industri tersibuk di Indonesia.
Dengan nama “Journalist Boarding School” (JBS), sekolah jurnalistik itu berupaya menekankan dua sisi secara berimbang, yakni keterampilan jurnalistik dan sisi spiritualitas, sehingga mereka diharapkan nanti benar-benar menjadi wartawan profetik yang mumpuni.
“Sekolah jurnalistik plus” itu berlokasi di Gedung Pusdiklat PWI Banten, Jalan Kalitimbang Lingkar Krotek RT 02/RW 05 Jalan Lingkar Selatan, Kecamatan Cibeber Kota Cilegon Provinsi Banten.
Konsep sekolah jurnalistik itu digagas oleh Firdaus, pendiri Teras Media Group yang menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten dua periode (2010-2015 dan 2015-2019).
Wartawan senior yang berdomisili di Cilegon Banten itu saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat serta merupakan penggagas sekaligus salah seorang pendiri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang kemudian didaulat menjadi sekretaris jenderal di organisasi media tersebut.
Menurut Firdaus, “Journalist Boarding School” itu sendiri berada di bawah naungan Yayasan Akademi Multimedia Nusantara (AMN). Tempat pendidikan dan pelatihan jurnalistik itu terbuka untuk alumni SMA maupun alumni perguruan tinggi.
Di sekolah jurnalistik itu para peserta mendapatkan pelatihan jurnalistik yang meliputi “6M”, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.
Materi wajib lainnya adalah desain grafis untuk media atau sarana tercetak, olah foto, digital marketing hingga pengelolaan media sosial agar menjadi sumber pendapatan.
Tidak hanya itu, para siswa juga akan diajarkan membuat blog atau website. Satu lagi, materi kearifan lokal juga diajarkan, yaitu keterampilan olah kanuragan.
Selain pendidikan jurnalistik dan digital, pihak sekolah juga akan membuat paket wisata religi untuk umum yang konsepnya sedang terus dimatangkan.
Sekolah jurnalistik itu sendiri hadir dalam upaya menjawab tantangan di era modern dengan konsep pendidikan yang mengkombinasikan nilai-nilai religius dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Para siswa nantinya akan menempuh masa pendidikan selama satu tahun, setara dengan pendidikan D1, dan selama mengikuti pendidikan, mereka akan dimukimkan seperti halnya santri di pondok pesantren.
Firdaus juga menjelaskan, materi-materi umum akan diberikan kepada seluruh peserta lulusan SMA maupun perguruan tinggi. Tetapi kemudian pada tahapan pengkonsentrasian, materinya akan berbeda.
Khusus untuk sarjana akan dikonsentrasikan pada jurnalistik profetik sebagai bagian dari kelompok penyeru bagi kepentingan publik dan kepemimpinan, sementara peserta tamatan SMA akan dikonsentrasikan pada penguasaan keterampilan media digital seperti desain web, pengelolaan medsos, dan digital marketing.
Pertama di Asia
Terkait “Journalist Boarding School”, Konsultan Manajemen Akademi Multimedia Nusantara (AMN) GS Ashok Kumar menyatakan, lembaga pendidikan jurnalistik tersebut adalah “Sekolah Jurnalistik Plus” pertama di Indonesia, bahkan di Asia karena juga mengajarkan siswanya untuk bisa membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Peserta didik disediakan penginapan di bangunan berlantai dua dengan luas 300 meter persegi. Dengan begitu setiap peserta dapat diasuh dan diawasi secara langsung oleh para mentor handal yang masing-masing memiliki kompetensi berbeda.
Para peserta didik wajib shalat berjamaah di awal waktu. Seusai shalat magrib dan subuh mereka diwajibkan belajar membaca dan menghapal Al-Qur’an serta belajar tajwid. Mereka juga secara berkala dilatih “public speaking” dan menjadi Imam shalat.
“Journalist Boarding School” yang dilaunching pada akhir April 2019 itu siap menampung 30 peserta setiap tahun. Setiap peserta akan mengikuti pendidikan selama satu tahun, dengan peningkatan materi secara berjenjang.
Sekolah jurnalistik itu dibangun, bukan semata berorientasi bisnis, tetapi lebih kepada ihktiar bersama dalam rangka mempersiapkan wartawan profetik yang kian diperlukan kehadirannya di era konvergensi media sekarang ini.
Perjuangan jajaran pengurus sekolah jurnalistik di Cilegon Banten untuk menyiapkan calon-calon wartawan profesional dan berakhlak mulia itu masih panjang dan penuh tantangan.
Karenanya perlu kerja keras dan kerja ikhlas semua pihak terkait dengan tetap mengedepankan “akhlaqul karimah” (sikap sopan santun) sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam kaitan ini, pemikir Islam terkemuka Imam Al-Ghazali menyatakan: “Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti sulit ditempuh serta panjang jalannya.
Beliau pun pernah mengingatkan bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun”. ***
*Penulis, Pemred Kantor Berita ANTARA 2016-2017 yang juga pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York AS tahun 1993-1998. Wartawan senior kelahiran Pandeglang Banten itu saat ini mendapat amanah sebagai Asesor Wartawan Utama pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta menjadi anggota Dewan Penasehat PWI Provinsi DKI Jakarta (PWI Jaya).