Beranda Kolom Opini Kaos Inter di Tanah Suci

Kaos Inter di Tanah Suci

0

Oleh Alfitri
Dosen FISIP Unand

Suatu kali di tahun 2013, Erick Thohir umrah bersama salah seorang direksi perusahaannya. Saat itu, Erick Thohir baru saja mengajukan proposal untuk membeli 70 persen saham klub sepakbola legendaris Italia, Inter Milan.

Suatu ketika sesudah shalat subuh di Masjid Nabawi, Erick Thohir melihat seorang jemaah di depannya memakai kaos Inter, Sneijder yang bernomor punggung 10. Sambil senyum, Erick pun berujar ke direksinya itu, “Rud, ini godaan atau petunjuk?”.

Setelah itu Erick Thohir dan direksinya balik ke hotel, sarapan dan keliling-keliling. Menjelang siang mereka balik lagi ke Masjid Nabawi untuk ziarah dan shalat sunat. Eh, ternyata bapak yang memakai kaos Inter tadi ada lagi di depan mereka. Sambil senyum, Erick Thohir pun berujar, “Rud, keknya proposal kita itu diterima nih…”

Demikianlah. November 2013 Erick Thohir berhasil membeli 70 persen saham Inter Milan lalu menjabat Presiden Inter Milan sampai Oktober 2018. Pada masa itu, Erick Thohir pun melakukan serangkaian pembenahan dan menunjukkan hasil yang menggembirakan bagi Inter Milan.

Sebagai olahraga paling digemari di seluruh dunia, memang tak jarang kita dapat menemukan ada jemaah umrah atau haji yang mengenakan kaos sepak bola di Masjid Nabawi. Bahkan juga di Masjidil Haram ketika sedang bebas tidak memakai pakaian ihram.

Pada musim haji tahun 2014, selesai shalat Isya di Masjid Nabawi saya pun sempat berkenalan dengan tiga anak muda yang mengenakan kaos bola. Mereka adalah warga Madinah yang merupakan fans dari beberapa klub bola Eropa. Setelah berkenalan, mereka pun bertanya klub bola favorit saya. “Inter”, jawab saya. Mereka pun mengacungkan jempol sambil tersenyum.

Pada suatu pagi di tahun 2009, di hari ke sepuluh setelah melaksanakan rangkaian ibadah umrah, saya pun melakukan tawaf wada. Menurut Sarwat (2019) tawaf wada dilakukan ketika jemaah akan segera meninggalkan Kota Makkah dalam rangkaian ibadah umrah atau haji.

Tawaf wada ini dapat dimaknai sebagai berpamitan dan bentuk penghormatan terakhir terhadap baitullah (Ka’bah).
Karena itu, saya melaksanakan tawaf wada dengan mengenakan kemeja batik. Siangnya saya dan rombongan akan segera ke Jeddah untuk bersiap balik ke tanah air.

Selesai tawaf dengan mengitari Ka’bah sebanyak 7 kali, saya pun berjalan biasa arah keluar Masjidil Haram. Pada saat itu saya beriringan dengan seorang anak muda yang memakai kaos Inter. Dia berjalan mundur menjauhi Ka’bah sembari menangis tersedu-sedu. Mulutnya tampak komat-kamit seperti melafazkan doa-doa.

Saya takjub dan tercengang melihat anak muda berkaos Inter itu. Tapi terlintas pula pikiran saya bahwa dia agak “lebay”. Saya yang semula berjalan biasa pun menoleh ke belakang memandang Ka’bah kembali. Tak terasa lamat-lamat air mata saya pun ikut berlinang merasakan kesedihan. Saya pun ikut tersentuh terbawa suasana hati anak muda berkaos Inter itu berpisah dengan baitullah. Ternyata dia tidak “lebay”. Karena, saya pun merasakan itu adalah kesedihan yang murni dari hati.

Saya pun ikut menangis tersedu-sedu sambil melafazkan doa-doa pada Allah Swt. Antara lain, doa mohon diampuni dan dapat kembali beribadah ke baitullah lagi suatu hari nanti.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here