“Ini bukan serial Transformer yang ada Optimus Prime, atawa Megatron si pemimpin Decepticons. Ini wabah yang perlu vaksinasi kesadaran dengan segera”
Oleh: Yoan S Nugraha
Agaknya tak semua tahu bahwa di Jakarta sana kota yang konon mega metropolitan itu sudah lama hidup suatu spesies baru kehidupan manusia, namanya Homo Jakartensis. Hal itu dipapar dalam tulisan lugas Seno Gumira Adjidharma di bukunya dengan tajuk “kentut kosmopolitan”.
Bukan saya hendak mengulas tulisan sang dewa komik tersebut tentang spesies Homo Jakartensisnya, bukan pula hendak menyamakan tulisan ini dengan tulisannya itu, hanya saja saya hendak mengabarkan kepada khalayak bahwa di tempat kita yang bernama kepri ini juga demikian adanya. Sudah bangkit dan hidup kembali spesies yang saya namakan: Meganthropus Keprinecus.
Tidak sama dengan homo jakartensisnya Seno, justru Meganthropus Keprinecus ini jauh lebih parah adanya. Jika menurut Seno, Homo Jakartensis itu memaksa diri untuk tampil sempurna ketika pulang ke kampung halaman, diharuskan terlihat “wow” dan “ngetren”.
Maka parahnya Meganthropus Keprinecus ini justru merubah iklim kampung untuk masuk dan atau menjadi ke sebuah dimensi kampung baru, kampung yang tidak tampak lagi jati diri kampung sebenarnya, seperti diselubung sebuah kelambu yang mengatasnamakan modernisasi maka para Meganthropus Keprinecus ini menggunakan kelambu itu dan memaksakan agar dikenakan pada setiap kita yang ada di kepri ini tanpa kita sadari.
Mereka para Meganthropus Keprinecus ini melihat alam sebagai objek untuk dieksploitasi, tak sebatas itu saja bahkan melihat kita yang bukan sebangsa Meganthropus Keprinecus juga pantas untuk dieksploitasi.
Bangkitnya Meganthropus Keprinecus juga sudah menyelubung dan merambah pada tiap-tiap instansi pemerintah, kebudayaan, pantas-pentas seni, sekolahan, hingga sampai kepada lingkup rumah tangga.
Tujuannya cuma satu, yaitu untuk mengentaskan hakikat makhluk pribumi yang ada di tanah kepri dengan segala bentuk jati diri kemelayuan dan potensi-potensi lainnya hingga kepada ideologi sekalipun dan menggantinya dengan spesies baru, spesies Meganthropus Keprinecus.
Saya tidak bicara tentang Ras, suku, atau agama. Saya bicara tentang spesies, ingat… spesies yang bernama Meganthropus Keprinecus itu seperti makhluk halus, bukan Jin atawa sebangsanya, tidak menimbulkan kesurupan, atawa muntah darah.
Dia hanya merasuk pada ideologi dan jati diri kita, tidak peduli siapa, apa ras-nya, seperti apa sukunya, bagaimana cara ibadahnya. Sebab kita yang di kepri ini paham benar petuah lama yang mengatakan “dimana bumi di pijak, disitulah langit di junjung” bisa saja bangkitnya Meganthropus Keprinecus ini berasal dari puak melayu itu sendiri, tak ada yang tau kecuali kita merenung-renung sejenak apakah Meganthropus Keprinecus itu sekarang sedang berada dan mengontrol tubuh dan pikiran kita lalu kita jalu sebab dia sudah menjelma kita.
Meganthropus Keprinecus ini punya misi untuk menjual masadepan menjadi perut, wabil khusus perut para spesies Meganthropus Keprinecus itu sendiri. Perubahan-perubahan yang dibuat spesies ini beragam adanya dan bisalah kita lihat perbedaan itu dengan sampel-sampel kecil yang ada.
Dari nama saja misalnya, yang kita paham benar bahwa nama adalah doa, maka Meganthropus Keprinecus pelan-pelan mengikis paham itu dan menggantinya dengan “nama adalah trend, nama adalah modernisasi masadepan anak” Maka janganlah kita heran jika misalkan dan berandai-andai saja bapak bernama Bujang, dan emak bernama Timah tapi anaknya bernama Kairav Ghani Danistha, Mikhalya Zalindra, Sania Kania.
Lantas bagaimana pula nasib nama anak keturunan Bujang dan Timah itu. Meski bukan nama sebenarnya tapi paling tidak hal yang demikian itu kita sadari dan terjadi di hidup kita. Tidak peduli Melayu, Jawa, Minang atau lainnya sebab tujuan Meganthropus Keprinecus bukanlah menimbulkan propaganda Ras, Suku maupun Agama, dia hanya mengemban misi merubah dimensi yang konon biar lebih modernisasi.
Pada hari-hari tertentu di tiap-tiap instansi di instruksikan untuk mengenakan pakaian berbaju kurung, bersongket, bercapal bahkan bertanjak. Tapi sayang itu hanya sebatas produk yang dikenakan.
Pentas seni dan budaya berdentam dentum. Pantun, syair, gurindam mengalun tak henti bagai riak dan kecipak gelombang. Namun semua semu sebab pada kenyataannya, kita sudah diselubung dengan kelambu modernisasi oleh Meganthropus Keprinecus.
Hakikat budaya tak mampu lagi diserap dengan baik, yang terpikirkan bagi kita bahwa segala sesuatu yang bertali simpul dengan budaya adalah fosil sejarah, kekolotan, keterbelakangan, ketinggalan pada arus zaman yang serba download ini.
Padahal kita tidak menyadari dengan baik, bagaimana hendak menunjukkan nasionalisme jika skema kultural saja sedang dijarah Meganthropus Keprinecus. Seolah yang menyatukan Nusantara menjadi Bangsa yang kita sebut saat ini dengan Indonesia adalah pada rasa nasionalis semata yang sebenarnya nasionalis itu lahir dari sendi tiap-tiap kultur yang ada di negeri ini.
Kita lupa tentang pengakuan nasionalis yang lahir pada oktober 1928 itu dilandaskan pada kekuatan aspek kultural. Bukti adanya adalah kuatnya jong Java, jong Celebes, jong Sumatera, jong Ambon dan lainnya.
Kembali pada spesies Meganthropus Keprinecus yang juga menyerang kaum belia di tanah ini. Kita bisa dengan seksama menyaksikan apa yang sedang diperbuat dan diperjuangkan oleh mereka saat ini, berlomba-lomba mendaki puncak modernisasi.
Saya tidak menyalahkan ketika mereka berpakaian ala-barat, hoby ala-luar negeri. Tapi yang mesti kita sesali adalah sudah raib entah kemana perginya hakikat kaum belia itu terhadap tanah tempat tembuninya memburai dengan tanah, hakikat kemelayuan yang berakar pada tiap-tiap sendi budi dan bahasa, bahkan sangking kuatnya hal itu dibuatlah berbagai ungkap kata diantaranya “yang kurik itu kundi, yang merah adalah saga. Yang baik itu budi, yang indah adalah bahasa”.
Jadi, janganlah heran ketika setakat ini banyak kaum belia itu bertungkus lumus belajar bahasa asing hanya sekadar untuk bisa menikmati film, pertunjukan dan perkembangan style bangsa asing tersebut.
Misi Meganthropus Keprinecus juga membuat kita amnesia tentang betapa sesungguhnya sedap sambal belacan dibandingkan chili sauce, serunya main sembunyi endop dibandingkan get rich, atau C.O.C., PUBG. Hingga sedapnya bersembang sama walau hanya sekadar duduk dan menyantap tambul jemput-jemput pisang atawa roti kiben. Amnesia tentang keindahan alam kita sendiri.
Dan lebih heran lagi sepesies Meganthropus Keprinecus juga membuat seolah-olah prilaku amnesia itu merupakan hal yang baik dan patut dimiliki. Jangan heran juga ketika lagu flashlight yang dinyanyikan Jessie J lebih banyak dihapal luar kepala oleh kaum belia dibandingkan larik Gurindam Jiwa yang penuh warna rasa itu.
Maklumkan juga ketika kaum belia yang baru beberapa bulan kuliah ke luar kota lalu pulang dengan bahasa yang sengaja di Jakarta-jakarta-kan. Semua adalah keberhasilan strategi dari spesies Meganthropus Keprinecus.
Alkisah, jika dari tanah kembali ke tanah, dari air kembali pada air. Yang darat pulang ke gunung, yang hilir hanyut ke laut. Maka demikian jugalah dengan Meganthropus Keprinecus.
Entah dilestarikan atau dipunahkan, hal itu berpulang pada kita. Sadar atau tidaknya kita terhadap spesies ini pada hidup dan kehidupan kita, kembali pada kita yang seberapa berani sudi dan berkenan untuk berkaca yang kemudian tepuk dada tanya selera.***