Beritakepri.id, TANJUNGPINANG –Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) yang dilaksanakan di Tanjungpinang dan Bintan, Kepulauan Riau 29 November hingga 2 Desember 2018, melahirkan kelompok Penyair Perempuan Indonesia (PPI).
Kunni Masrohanti, penyair asal Riau yang juga baru ditabalkan sebagai Ketua Wanita Penulis Indonesia (WPI) di Riau beberapa bulan lalu, dipercaya untuk memimpin PPI tersebut. Sedangkan Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi selaku penggagas FSIGB dan kritikus sastra Indonesia dan Maman S Mahayana, dipercaya sebagai Pembina.
Didampingi enam penyair perempuan lainnya yang hadir yakni, Rini Intama (Banten), Ratna Ayu Budhiarti (Jawa Barat), Ade Novi (Jawa Barat), DM Ningsih (Riau), Ummi Rissa (Jawa Barat) dan Yuanda Isha (Kepulauan Riau), Kunni membacakan teks deklarasi yang dibuatnya sendiri tersebut di hadapan puluhan penyair dari Indonesia, Malaysia dan Singapura di gedung pertunjukan Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang. Presiden Penyair Indoensia, Datuk Seri Lela Pujangga Utama, Sutardji Calzoum Bachri, juga menyaksikan sejarah baru kesusasteraan Indonesia itu.
Kunni mengatakan, PPI dideklarasikan untuk mengingat kembali peran dan kekuatan perempuan dalam perjalanan kepenyairan Indonesia seperti pengaruh dan peran perempuan dalam kerajaan Melayu antara lain Tun Fatimah, Tengku Tengah, dan Siti Kamariah seperti yang mereka fahami selama mengikuti FSIGB. Hendaknya penyair perempuan juga memberi pengaruh besar bagi Indonesia.
“Begitu banyak pengaruh perempuan dalam kebesaran kerajaan Melayu dengan segala lika-liku, kesadaran dan kebesaran jiwanya. Begitu juga dengan Pujangga Aisyah Sulaiman dengan karya-karyanya yang turut mewarnai kesusasteraan Indonesia di masanya. Lanntas seperti apakah pengaruh dan peran penyair perempuan bagi Indonesia,” kata dia.
Kunni melanjutkan, dengan adanya deklarasi PPI tersebut, dirinya berharap agar Penyair Perempuan Indonesia mampu memberikan inspirasi kepada perempuan lainnya untuk tetap menyusu pada tradisi dan mewariskannya pula kepada generasi selanjutnya melalui puisi.
Perempuan tambahnya, dari rahimnyalah lahir segala cinta. Dari bibirnya pula lahirlah segala aksara. Dondang, dodoi, nandung, batimang, nyanyi panjang, maratik, di dalamnya segala pesan dan harap kepada anak digantungkan saat dalam buaian.
“Ingatkah? Itulah sastra lisan yang juga puisi. Jika laut berpalung dalam, berbatu karang, maka palung puisi itu bernama perempuan. Karena itu, kami kukuhkan PPI untuk menginspirasi perempuan-perempuan lain agar kembali kepada tradisi sebagai sumber inspirasi puisi. Ide lahirnya PPI sendiri bermula dari bincang-bincang kecil bersama Datuk Rida K Liamsi dan Kang Maman S Mahayana. Alhamdulillah mereka sangat mengapresiasi,” katanya lagi.
Sementara itu, Rida K Liamsi, Pembina PPI, pengaggas FSIGB, Hari Puisi Indonesia (HPI) serta penggagas berbagai ivent besar kesusasteraan di Indonesia, berharap agar PPI bisa memberikan ruh positif bagi kesusasteraan Indonesia.
‘’Ya, dengan adanya PPI perempuan-perempuan penyair Indonesia diharapkan lebih bersemangat, lebih memberi arti dan berpengaruh serta mewarnai perkembangan kesusasteraan di Indonesia ke depannya,’’ katanya.**
[…] ini pernah dipublikasikan di Berita Kepri pada 5 Desember […]